Rabu, 04 Oktober 2017

Menyoal Integritas Mahasiswa Muslim

Oleh: Dr. Nashruddin Syarief, M.Pd.I.

Integritas mahasiswa muslim selalu menjadi sorotan para ulama sejak lama. Dalam kitab-kitab yang membahas tentang ilmu, selalu dibahas adab-adab belajar dan mengajar yang harus selalu dijunjung tinggi oleh para pembelajar dan pengajar. Imam al-Ghazali menuangkannya dalam Ihya` ‘Ulumid-din. Imam an-Nawawi menuliskan satu kitab khusus tentang tema ini yang kemudian intisarinya disajikan dalam muqaddimah al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab. Syaikh al-‘Utsaimin juga menuliskan satu bab khusus tentang adab pencari ilmu dalam kitabnya, Kitabul-‘Ilm. Ulama kontemporer yang cukup intens juga dalam menyoroti integritas mahasiswa dan sarjana muslim adalah Syed Muhammad Naquib al-Attas, sebagaimana disarikan oleh Wan Mohd Nor Wan Daud dalam buku The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Demikian juga Wan Mohd Nor Wan Daud sendiri dan Adian Husaini, sebagaimana terangkum dalam sebuah biografi kelimuan, Rihlah Ilmiah Wan Mohd Nor Wan Daud; Dari Neomodernisme ke Islamisasi Ilmu Kontemporer.

Membaca mutiara-mutiara hikmah dari para ulama di atas akan membuat siapa pun yang mencintai ilmu kembali berkaca diri; sudah berada di manakah diri ini dalam integritas keilmuan? Apalagi bagi seseorang yang menyandang status mahasiswa; apalagi yang pernah menyandang status mahasiswa yakni sudah bergelar sarjana, magister, atau doktor. Sebab mahasiswa ditakdirkan Allah swt sebagai status tertinggi dari seorang pembelajar ilmu di dunia dewasa ini. Jika status tertinggi sebagai pembelajar pada faktanya tidak sesuai dengan integritas tertinggi dari seorang pembelajar, maka minimalnya perasaan malu menghinggapi diri. Malu yang bukannya menuntun seorang mahasiswa meninggalkan dunia keilmuannya—sebab yang seperti ini justru tidak punya malu, melainkan malu yang akan menuntunnya semakin meningkatkan integritas diri sebagaimana dikehendaki oleh Allah swt dan Rasul-Nya.

Perasaan malu itu minimalnya menuntun diri pada tekad mulia untuk tidak jadi mahasiswa yang asal belajar atau belajar asal-asalan. Gejalanya seperti datang ke kelas selalu terlambat. Belajar hanya sebatas yang menjadi tugasnya semata, sementara yang menjadi tugas mahasiswa lain tidak pernah ada aktivitas belajar selain hanya menyimak dan bertanya. Giliran yang menjadi tugasnya pun tidak pernah dikerjakan dengan serius, selain asal membuat makalah tanpa menerapkan rambu-rambu ilmiah yang semestinya. Itu biasanya dilatari sikap malas membaca apalagi menganalisa dan kemudian menuangkannya dalam tulisan sebagai hasil analisa sendiri, bukan plagiat dari karya orang lain. Gejala penyakit malas ini seringkali tidak diobati sehingga selalu kambuh di setiap perkuliahan bahkan sampai penulisan skripsi, tesis, atau disertasi.

Selain bobrok dalam pembelajaran dan penelitian, dalam konteks pengabdian pun para calon sarjana muslim ini seringkali dipersoalkan. Pengabdian seorang calon sarjana tentu tidak akan lepas dari pusat-pusat pembelajaran masyarakat seperti masjid, madrasah, pesantren, dan majelis ta’lim. Sayangnya pusat-pusat pembelajaran masyarakat tersebut jarang tersentuh para mahasiswa. Padahal pusat-pusat pembelajaran tersebut seringkali mengeluhkan kurangnya tenaga SDM. Padahal juga jika dibandingkan jumlah mahasiswa muslim dengan jumlah pusat pembelajaran masyarakat tidak ditemukan selisih yang signifikan. Pengabdian dalam bentuk advokasi masyarakat di bidang sosial, kesehatan, ekonomi, dan politik juga seringkali luput akibat kesenangan anak muda dengan dunia hiburan dan permainannya.
Semua itu kembali pada integritas kepribadian mahasiswa muslim yang masih berada di titik nadir. Tentu tidak semua mahasiswa muslim berada pada kemerosotan integritas seperti diuraikan di atas. Ada beberapa yang berintegritas mulia. Hanya jumlahnya yang tidak banyak sebanyak mahasiswa yang integritasnya rendah, seringkali terkena hukum alam ‘generalisasi’. Meski tidak sepenuhnya benar, tetapi juga tidak sepenuhnya salah.
Berikut ini akan sedikit diulas perihal integritas mahasiswa muslim berdasarkan kajian para ulama. Mulai dari masalah niat, kejujuran, kesabaran, berakhlaq mulia, dan cara menuntut ilmu.

Masalah Niat
Setiap pencari ilmu, termasuk mahasiswa, sudah seyogianya meniatkan kegiatan belajarnya untuk meraih keridlaan Allah swt, bukan untuk memperoleh bagian duniawi. Imam an-Nawawi mencontohkannya berupa harta, kedudukan, popularitas, keistimewaan dari yang lain, banyak orang yang belajar darinya, atau banyak orang yang membantu hidupnya, meski itu hanya sekedar memberikan hadiah kepadanya.[1] Syaikh al-‘Utsaimin mengaitkan keharaman duniawi ini dengan hadits Nabi saw:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يَبْتَغِى بِهِ وَجْهَ اللهِ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِه غَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرَفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang semestinya diniatkan mengharap wajah Allah, tapi ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan bagian dunia, maka ia tidak akan mencium wangi surga pada hari kiamat.[2]

Penyebab seorang mahasiswa belajar asal-asalan bisa dipastikan niat bukan untuk mencari keridlaan Allah swt. Allah swt tidak mungkin ridla kepada seseorang yang mencari ilmu asal-asalan. Mahasiswa yang belajarnya asal-asalan pasti didasari niat yang penting lulus, yang penting dapat gelar, yang penting mendapatkan status sarjana, bisa dipakai mengajar atau bekerja, terserah apakah gelar sarjana sudah sesuai dengan kompetensi yang dimiliki atau tidak. Seorang mahasiswa yang niat belajarnya untuk prestise duniawi akan tersinggung jika diberi nilai C atau D, meski selayaknya ia mendapat nilai E. Ia tidak malu untuk mengemis nilai B atau A, meski jalan pintasnya semester pendek. Budaya mencontek dan plagiasi akan sangat akrab dalam kegiatan belajarnya, jika niatnya hanya untuk mencari status sarjana semata. Atau minimalnya ia akan belajar dengan santai seraya berharap besar perguruan tinggi akan meluluskannya.

Kejujuran
Adab ini disoroti oleh al-Attas dalam filsafat pendidikan yang dianutnya.[3] Kejujuran erat kaitannya dengan penyampaian ilmu dari sumbernya. Seorang ilmuwan diharuskan jujur dalam menyampaikan ilmunya. Apa yang merupakan hasil penelitian orang lain harus disampaikan sebagai hasil penelitian orang lain dan jangan ditutup-tutupi dengan bahasa ungkapan sendiri. Seorang ilmuwan hanya berhak menyampaikan hasil penemuannya sendiri jika itu didasarkan hasil penelitian mandiri, meski itu didasarkan pada penelitian sebelumnya. Praktik menyamarkan hasil penelitian orang lain sebagai hasil penelitian sendiri ini dikenal dengan istilah plagiat. Dalam ilmu hadits istilahnya adalah tadlis. Hadits yang diriwayatkan secara tadlis secara umum dla’if.

Praktik plagiarisme di dunia akademik sudah sedemikian mengkhawatirkan. Bukan hanya menimpa mahasiswa S1, bahkan sampai level guru besar sekalipun. Sebagaimana diberitakan portal kemenristekdikti, pihak kementerian akan mencoba mengatasinya dengan menginstuksikan setiap perguruan tinggi untuk memiliki dewan etik. Meski sebenarnya, Menteri sendiri sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penang­gu­langan Plagiat di Perguruan Tinggi.

Kesabaran
Kesabaran yang dimaksud dalam integritas mahasiswa ini mencakup dua hal; kesabaran dalam memperoleh ilmu dan kesabaran dalam keterbatasan materi.
Kesabaran jenis pertama diungkapkan oleh Syaikh al-‘Utsaimin dengan istilah tatsabbut wa tsabat. Tatsabbut artinya meneliti kebenaran ilmu langsung dari sumbernya, sementara tsabat artinya kemampuan untuk terus bertahan dalam situasi yang sulit.[4] Dua hal tersebut jelas erat keterkaitannya dalam pencarian ilmu. Seorang pencari ilmu diharuskan merujuk pada sumber-sumber ilmu yang diakui. Proses penelitian pada sumber-sumber ilmu, baik itu yang library research atau field research, memerlukan waktu yang tidak sebentar dan menghadapi rintangan yang banyak. Jika tidak disertai tsabat, tatsabbut akan seenaknya saja dilanggar. Ilmu yang diperoleh pun tidak akan valid dan akan kental dengan kesesatan. Kalaupun tidak sesat, minimalnya ilmu yang diteliti tidak kunjung berkembang.
Kesabaran jenis kedua adalah kesabaran dalam menjalani hidup dengan keterbatasan selama mencari ilmu. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa hal ini harus dijalani agar dalam mencari ilmu tidak tersibukkan dengan aktivitas duniawi, melainkan fokus sepenuhnya pada mencari ilmu.[5] Imam an-Nawawi dalam hal ini mengutip pernyataan beberapa ulama:
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى لَا يَطْلُبُ أَحَدٌ هَذَا الْعِلْمَ بِالْمُلْكِ وَعِزِّ النَّفْسِ فَيَفْلَحَ وَلَكِنْ مَنْ طَلَبَهُ بِذُلِّ النَّفْسِ وَضِيقِ الْعَيْشِ وَخِدْمَةِ الْعُلَمَاءِ أَفْلَحَ: وَقَالَ أَيْضًا لَا يُدْرَكُ الْعِلْمُ إلَّا بِالصَّبْرِ عَلَى الذُّلِّ: وَقَالَ أَيْضًا لَا يَصْلُحُ طَلَبُ الْعِلْمِ إلَّا لِمُفْلِسٍ فَقِيلَ وَلَا الْغَنِيُّ الْمُكَفَّى فَقَالَ وَلَا الْغَنِيُّ الْمُكَفَّى
As-Syafi’i rahimahullah berkata: “Tidak ada seorang pun yang mencari ilmu ini dengan kekuasaan dan ketinggian diri lalu ia sukses. Tetapi orang yang mencarinya dengan kerendahan diri, kesempitan hidup, dan berkhidmat kepada para ulama, ia akan sukses.” Beliau berkata juga: “Ilmu ini tidak akan diperoleh kecuali dengan sabar dalam keterbatasan.” Beliau berkata juga: “Tidak pantas mencari ilmu kecuali untuk orang yang bangkrut.” Ditanyakan kepada beliau: “Orang yang kaya dan cukup tidak pantas?” Beliau menjawab: “Orang yang kaya dan cukup tidak pantas.”
وَقَالَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ رَحِمَهُ اللَّهُ لَا يَبْلُغُ أَحَدٌ مِنْ هَذَا الْعِلْمِ مَا يُرِيدُ حَتَّى يضربه الفقر ويؤثره على كل شئ
Malik ibn Anas rahimahullah berkata: “Seseorang tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan dari ilmu ini sehingga tertimpa kefakiran dan ia memprioritaskan ilmu di atas segala sesuatunya.”
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ يُسْتَعَانُ عَلَى الفقه بجمع الهم وَيُسْتَعَانُ عَلَى حَذْفِ الْعَلَائِقِ بِأَخْذِ الْيَسِيرِ عِنْدَ الْحَاجَةِ وَلَا يَزِدْ
Abu Hanifah rahimahullah berkata: “Akan terbantu untuk bisa memahami dengan menguatkan semangat. Akan terbantu untuk menghilangkan kesibukan dengan mengambil sedikit saja ketika butuh dan tidak berlebihan.”
وَقَالَ إبْرَاهِيمُ الْآجُرِّيُّ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ بِالْفَاقَةِ وَرِثَ الْفَهْمَ
Ibrahim al-Ajuri berkata: “Siapa yang mencari ilmu dengan kesengsaraan, ia akan mewarisi pemahaman.”[6]

Peringatan Imam an-Nawawi ini menemukan relevansinya pada zaman sekarang. Ketika seorang mahasiswa tersibukkan dengan aktivitas duniawi, otomatis ia tidak akan maksimal dalam mencari dan meneliti ilmu. Demikian halnya ketika seorang mahasiswa lebih mementingkan penampilan dan gadgetnya, ia akan abai dari memperkaya khazanah pustaka di lemarinya. Hidupnya yang serba instan dan materialis berdampak negatif pada gaya belajarnya yang serba instan dan menerapkan paham materialis pula.

Fakta bahwa beberapa jurusan keilmuan di perguruan tinggi menerapkan biaya mahal untuk biaya pendidikannya berdampak pada lulusannya yang jauh dari “fiqih” terhadap agama. Jika pada umumnya mereka adalah dokter, maka mereka menjadi dokter yang materialis. Demikian halnya jika mereka adalah pengacara, insinyur, atau bahkan sarjana agama sekalipun. Orientasi kemapanan duniawi yang sudah dianut dalam hidup mereka selama mereka kuliah, akan terus abadi ketika mereka sudah lulus dari kuliahnya. Jadilah ilmu yang diperoleh jauh dari kategori “fiqih” dalam agama.

Berakhlaq Mulia
Imam al-Ghazali mengategorikan point ini pada wazhifah ula dari sepuluh wazhifah yang harus diperhatikan oleh seorang pencari ilmu. Menurutnya, seorang pencari ilmu sama halnya dengan seseorang yang akan shalat yang harus bersih dari najis dan hadats. Dalam konteks ibadah batin seperti mencari ilmu, najis dan hadats itu adalah kotoran hati dan jiwa. Jika ini tidak dibersihkan terlebih dahulu, maka ilmu yang diperoleh akan batal.[7]
Imam an-Nawawi menekankannya dengan harus jauh dari sifat hasud, riya, senang berbangga diri dan merendahkan orang lain. Di samping itu harus merutinkan tasbih, tahlil, dan dzikir-dzikir atau do’a-do’a lainnya. Merutinkan membaca al-Qur`an, shalat dan shaum sunat, dan adab-adab syar’i lainnya sehingga hati senantiasa tawakkal kepada Allah swt.[8]

Cara Menuntut Ilmu
Imam al-Ghazali menekankan agar seorang pencari ilmu terlebih dahulu mengetahui peta keilmuan. Setelah ia mengetahui peta keilmuan tersebut, ia mulai mempelajarinya satu per satu, mulai dari yang terpenting. Tidak boleh semua ilmu itu dipelajari secara bersamaan sekaligus, sebab satu ilmu akan sangat terkait dengan ilmu lainnya yang harus dikuasai terlebih dahulu. Maka dari itu, setiap disiplin keilmuan yang didalami harus tuntas sampai dikuasai. Jangan pernah berpindah pada ilmu lainnya, sebelum ia menguasai ilmu yang tengah diperdalamnya.[9]
Hirarki keilmuan yang harus dipelajari secara bertahap tersebut dijelaskan oleh Imam an-Nawawi sebagai berikut:
وَيَنْبَغِي أَنْ يَبْدَأَ مِنْ دُرُوْسِهِ عَلَى الْمَشَايِخِ وَفِي الْحِفْظِ وَالتِّكْرَارِ وَالْمُطَالَعَةِ بِالْأَهَمِّ فَالْأَهَمِّ: وَأَوَّلُ مَا يَبْتَدِئُ بِهِ حِفْظُ الْقُرْآنِ الْعَزِيْزِ فَهُوَ أَهَمُّ الْعُلُوْمِ وَكَانَ السَّلَفُ لاَ يُعَلِّمُوْنَ الْحَدِيْثَ وَالْفِقْهَ إِلاَّ لِمَنْ حَفِظَ الْقُرْآنَ وَإِذَا حَفِظَهُ فَلْيَحْذَرْ مِنَ الْاِشْتِغَالِ عَنْهُ بِالْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ وَغَيْرِهِمَا اشْتِغَالاً يُؤَدِّي إِلَى نِسْيَانِ شَيْءٍ مِنْهُ أَوْ تَعْرِيْضِهِ لِلنِّسْيَانِ. وَبَعْدَ حِفْظِ الْقُرْآنِ يَحْفَظُ مِنْ كُلِّ فَنٍّ مُخْتَصَرًا وَيَبْدَأُ بِالْأَهَمِّ وَمِنْ أَهَمِّهَا الْفِقْهُ وَالنَّحْوُ ثُمَّ الْحَدِيْثُ وَالْأُصُوْلُ ثُمَّ الْبَاقِي عَلَى مَا تَيَسَّرَ
Sudah semestinya seseorang mengawali belajarnya kepada para syaikh, termasuk dalam hal hafalan dan kajian, dengan yang paling penting lalu yang penting berikutnya. Hal pertama yang harus dipelajari adalah menghafal al-Qur`an al-‘Aziz. Itu adalah ilmu yang paling penting. Para ulama salaf tidak mengajarkan hadits dan fiqih kecuali kepada orang yang sudah hafal al-Qur`an. Jika seseorang sudah hafal al-Qur`an waspadalah dari tersibukkan oleh hadits, fiqih, atau lainnya yang menyebabkannya lupa dari hafalannya atau sebatas mengganggu hafalannya. Setelah hafal al-Qur`an, baru seseorang menghafal ilmu lainnya mulai dari yang mukhtashar (ringkasan). Mulai dari yang paling penting, yaitu fiqih, nahwu, hadits, ushul, kemudian ilmu lainnya yang mudah baginya.[10]
Penjelasan yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah:
وَأَمَّا طَلَبُ حِفْظِ الْقُرْآنِ فَهُوَ مُقَدَّمٌ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّا تُسَمِّيهِ النَّاسُ عِلْمًا. وَهُوَ إمَّا بَاطِلٌ أَوْ قَلِيلُ النَّفْعِ. وَهُوَ أَيْضًا مُقَدَّمٌ فِي التَّعَلُّمِ فِي حَقِّ مَنْ يُرِيدُ أَنْ يَتَعَلَّمَ عِلْمَ الدِّينِ مِنْ الْأُصُولِ وَالْفُرُوعِ فَإِنَّ الْمَشْرُوعَ فِي حَقِّ مِثْلِ هَذَا فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ أَنْ يَبْدَأَ بِحِفْظِ الْقُرْآنِ فَإِنَّهُ أَصْلُ عُلُومِ الدِّينِ... وَالْمَطْلُوبُ مِنْ الْقُرْآنِ هُوَ فَهْمُ مَعَانِيهِ وَالْعَمَلُ بِهِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ هَذِهِ هِمَّةَ حَافِظِهِ لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالدِّينِ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ أَعْلَمُ
Adapun menghafal al-Qur`an maka itu harus diprioritaskan daripada ilmu lain yang dikenal oleh manusia, entah itu ilmu yang batil ataupun yang sedikit manfaatnya. Ia juga harus diprioritaskan daripada mempelajari ilmu-ilmu agama baik yang ushûl-nya atau cabang-cabangnya. Karena sesungguhnya yang disyari'atkan sebagai kewajiban dalam hal ini, pada waktu-waktu ini, adalah mulai dengan menghafal al-Qur`an, karena itu merupakan ashal dari ilmu-ilmu agama... Di samping itu, sudah barang tentu yang dituntut dari al-Qur`an adalah memahami maknanya dan mengamalkannya. Jika bukan ini yang menjadi motif dari sang penghafal al-Qur`an, maka tentu ia tidak termasuk ahli ilmu dan agama. Allah Subahanahu lebih mengetahui.[11]

Sungguh merupakan kekeliruan besar ketika ada seorang mahasiswa terjebak dengan sistem belajar semester, atau S1, S2, S3. Ketika semester selesai atau kuliah sudah lulus, maka belajar ilmu pun harus selesai, meski sebenarnya ia belum menguasai ilmu yang dipelajarinya. Seyogianya ia mengajukan diri untuk mengulang semesternya, atau minimalnya belajar di jalur nonformal atau informal untuk menguatkan pemahamannya terhadap ilmu yang dipelajarinya. Ia harus terus mempelajarinya sampai tuntas, meski kuliah sudah lulus.

Demikian halnya, kekeliruan lainnya adalah ketika mahasiswa mengabaikan tahfizh al-Qur`an dan penguasaan pada ilmu-ilmu fardlu ‘ain seperti nahwu, hadits, ushul, dan fiqih. Padahal ilmu-ilmu fardlu ‘ain tersebut, sebagaimana ditegaskan al-Attas, menyingkap rahasia Being dan Eksistensi, menerangkan dengan sebenar-benarnya hubungan antara diri manusia dan Tuhan, dan menjelaskan maksud dari mengetahui sesuatu dan tujuan kehidupan yang sebenarnya. Ketika ilmu pengetahuan tidak dibimbing dengan ilmu-ilmu fardlu ‘ain maka ilmu-ilmu tersebut akan membingungkan manusia dan secara terus menerus menjebak mereka dalam suasana pencarian tujuan dan makna kehidupan yang meragukan dan salah.[12]

[1] An-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, bab adabul-mu’allim.

[2] Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin, Kitabul-‘Ilm, bab fi adab thalibil-‘ilm, al-amrul-awwal. Hadits di atas diriwayatkan dalam Al-Mustadrak al-Hakim kitab al-‘ilm bab man ta’allama ‘ilman mimma yabtaghi bihi wajhal-‘Llah no. 264-265.

[3] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Kuala Lumpur: ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), 1998, hlm. 227.

[4] Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin, Kitabul-‘Ilm, bab fi adab thalibil-‘ilm, al-amrul-hadi ‘asyar.

[5] An-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, bab adabul-muta’allim.

[6] Ibid.

[7] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya` ‘Ulumid-din, bab fi adabil-muta’allim wal-mu’allim.

[8] An-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, bab adabul-mu’allim.

[9] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya` ‘Ulumid-din, bab fi adabil-muta’allim wal-mu’allim, al-wazhifah al-khamisah-as-sabi’ah.

[10] An-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, bab adabul-mu’allim.

[11] Ibn Taimiyyah, Majmû' Fatâwâ, jilid 23, hlm. 54-55.


[12] Wan Daud, The Educational Philosophy, hlm. 115.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar