Oleh: Dr. Nashruddin Syarief, M.Pd.I.
Integritas mahasiswa muslim selalu menjadi sorotan para ulama sejak lama.
Dalam kitab-kitab yang membahas tentang ilmu, selalu dibahas adab-adab belajar
dan mengajar yang harus selalu dijunjung tinggi oleh para pembelajar dan
pengajar. Imam al-Ghazali menuangkannya dalam Ihya` ‘Ulumid-din. Imam
an-Nawawi menuliskan satu kitab khusus tentang tema ini yang kemudian
intisarinya disajikan dalam muqaddimah al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab. Syaikh
al-‘Utsaimin juga menuliskan satu bab khusus tentang adab pencari ilmu dalam
kitabnya, Kitabul-‘Ilm. Ulama kontemporer yang cukup intens juga dalam
menyoroti integritas mahasiswa dan sarjana muslim adalah Syed Muhammad Naquib
al-Attas, sebagaimana disarikan oleh Wan Mohd Nor Wan Daud dalam buku The
Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Demikian
juga Wan Mohd Nor Wan Daud sendiri dan Adian Husaini, sebagaimana terangkum
dalam sebuah biografi kelimuan, Rihlah Ilmiah Wan Mohd Nor Wan Daud; Dari
Neomodernisme ke Islamisasi Ilmu Kontemporer.
Membaca mutiara-mutiara hikmah dari para ulama di atas akan membuat siapa
pun yang mencintai ilmu kembali berkaca diri; sudah berada di manakah diri ini
dalam integritas keilmuan? Apalagi bagi seseorang yang menyandang status
mahasiswa; apalagi yang pernah menyandang status mahasiswa yakni sudah bergelar
sarjana, magister, atau doktor. Sebab mahasiswa ditakdirkan Allah swt sebagai
status tertinggi dari seorang pembelajar ilmu di dunia dewasa ini. Jika status
tertinggi sebagai pembelajar pada faktanya tidak sesuai dengan integritas
tertinggi dari seorang pembelajar, maka minimalnya perasaan malu menghinggapi
diri. Malu yang bukannya menuntun seorang mahasiswa meninggalkan dunia
keilmuannya—sebab yang seperti ini justru tidak punya malu, melainkan malu yang
akan menuntunnya semakin meningkatkan integritas diri sebagaimana dikehendaki
oleh Allah swt dan Rasul-Nya.
Perasaan malu itu minimalnya menuntun diri pada tekad mulia untuk tidak
jadi mahasiswa yang asal belajar atau belajar asal-asalan. Gejalanya seperti
datang ke kelas selalu terlambat. Belajar hanya sebatas yang menjadi tugasnya
semata, sementara yang menjadi tugas mahasiswa lain tidak pernah ada aktivitas
belajar selain hanya menyimak dan bertanya. Giliran yang menjadi tugasnya pun
tidak pernah dikerjakan dengan serius, selain asal membuat makalah tanpa
menerapkan rambu-rambu ilmiah yang semestinya. Itu biasanya dilatari sikap
malas membaca apalagi menganalisa dan kemudian menuangkannya dalam tulisan
sebagai hasil analisa sendiri, bukan plagiat dari karya orang lain. Gejala
penyakit malas ini seringkali tidak diobati sehingga selalu kambuh di setiap
perkuliahan bahkan sampai penulisan skripsi, tesis, atau disertasi.
Selain bobrok dalam pembelajaran dan penelitian, dalam konteks pengabdian
pun para calon sarjana muslim ini seringkali dipersoalkan. Pengabdian seorang
calon sarjana tentu tidak akan lepas dari pusat-pusat pembelajaran masyarakat
seperti masjid, madrasah, pesantren, dan majelis ta’lim. Sayangnya pusat-pusat
pembelajaran masyarakat tersebut jarang tersentuh para mahasiswa. Padahal
pusat-pusat pembelajaran tersebut seringkali mengeluhkan kurangnya tenaga SDM.
Padahal juga jika dibandingkan jumlah mahasiswa muslim dengan jumlah pusat
pembelajaran masyarakat tidak ditemukan selisih yang signifikan. Pengabdian
dalam bentuk advokasi masyarakat di bidang sosial, kesehatan, ekonomi, dan
politik juga seringkali luput akibat kesenangan anak muda dengan dunia hiburan
dan permainannya.
Semua itu kembali pada integritas kepribadian mahasiswa muslim yang masih
berada di titik nadir. Tentu tidak semua mahasiswa muslim berada pada
kemerosotan integritas seperti diuraikan di atas. Ada beberapa yang
berintegritas mulia. Hanya jumlahnya yang tidak banyak sebanyak mahasiswa yang
integritasnya rendah, seringkali terkena hukum alam ‘generalisasi’. Meski tidak
sepenuhnya benar, tetapi juga tidak sepenuhnya salah.
Berikut ini akan sedikit diulas perihal integritas mahasiswa muslim
berdasarkan kajian para ulama. Mulai dari masalah niat, kejujuran, kesabaran,
berakhlaq mulia, dan cara menuntut ilmu.
Masalah Niat
Setiap pencari ilmu, termasuk mahasiswa, sudah seyogianya meniatkan
kegiatan belajarnya untuk meraih keridlaan Allah swt, bukan untuk memperoleh
bagian duniawi. Imam an-Nawawi mencontohkannya berupa harta, kedudukan, popularitas,
keistimewaan dari yang lain, banyak orang yang belajar darinya, atau banyak
orang yang membantu hidupnya, meski itu hanya sekedar memberikan hadiah
kepadanya.[1] Syaikh al-‘Utsaimin mengaitkan keharaman duniawi ini dengan
hadits Nabi saw:
مَنْ تَعَلَّمَ
عِلْمًا مِمَّا يَبْتَغِى بِهِ وَجْهَ اللهِ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ
بِه غَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرَفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang semestinya
diniatkan mengharap wajah Allah, tapi ia tidak mempelajarinya kecuali untuk
mendapatkan bagian dunia, maka ia tidak akan mencium wangi surga pada hari
kiamat.[2]
Penyebab seorang mahasiswa belajar asal-asalan bisa dipastikan niat bukan
untuk mencari keridlaan Allah swt. Allah swt tidak mungkin ridla kepada
seseorang yang mencari ilmu asal-asalan. Mahasiswa yang belajarnya asal-asalan
pasti didasari niat yang penting lulus, yang penting dapat gelar, yang penting
mendapatkan status sarjana, bisa dipakai mengajar atau bekerja, terserah apakah
gelar sarjana sudah sesuai dengan kompetensi yang dimiliki atau tidak. Seorang
mahasiswa yang niat belajarnya untuk prestise duniawi akan tersinggung jika
diberi nilai C atau D, meski selayaknya ia mendapat nilai E. Ia tidak malu
untuk mengemis nilai B atau A, meski jalan pintasnya semester pendek. Budaya
mencontek dan plagiasi akan sangat akrab dalam kegiatan belajarnya, jika
niatnya hanya untuk mencari status sarjana semata. Atau minimalnya ia akan
belajar dengan santai seraya berharap besar perguruan tinggi akan meluluskannya.
Kejujuran
Adab ini disoroti oleh al-Attas dalam filsafat pendidikan yang
dianutnya.[3] Kejujuran erat kaitannya dengan penyampaian ilmu dari sumbernya.
Seorang ilmuwan diharuskan jujur dalam menyampaikan ilmunya. Apa yang merupakan
hasil penelitian orang lain harus disampaikan sebagai hasil penelitian orang
lain dan jangan ditutup-tutupi dengan bahasa ungkapan sendiri. Seorang ilmuwan
hanya berhak menyampaikan hasil penemuannya sendiri jika itu didasarkan hasil
penelitian mandiri, meski itu didasarkan pada penelitian sebelumnya. Praktik
menyamarkan hasil penelitian orang lain sebagai hasil penelitian sendiri ini
dikenal dengan istilah plagiat. Dalam ilmu hadits istilahnya adalah tadlis. Hadits
yang diriwayatkan secara tadlis secara umum dla’if.
Praktik plagiarisme di dunia akademik sudah sedemikian mengkhawatirkan.
Bukan hanya menimpa mahasiswa S1, bahkan sampai level guru besar sekalipun.
Sebagaimana diberitakan portal kemenristekdikti, pihak kementerian akan mencoba
mengatasinya dengan menginstuksikan setiap perguruan tinggi untuk memiliki
dewan etik. Meski sebenarnya, Menteri sendiri sudah mengeluarkan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional No 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Plagiat di Perguruan Tinggi.
Kesabaran
Kesabaran yang dimaksud dalam integritas mahasiswa ini mencakup dua hal;
kesabaran dalam memperoleh ilmu dan kesabaran dalam keterbatasan materi.
Kesabaran jenis pertama diungkapkan oleh Syaikh al-‘Utsaimin dengan istilah
tatsabbut wa tsabat. Tatsabbut artinya meneliti kebenaran ilmu langsung
dari sumbernya, sementara tsabat artinya kemampuan untuk terus bertahan
dalam situasi yang sulit.[4] Dua hal tersebut jelas erat keterkaitannya dalam
pencarian ilmu. Seorang pencari ilmu diharuskan merujuk pada sumber-sumber ilmu
yang diakui. Proses penelitian pada sumber-sumber ilmu, baik itu yang library
research atau field research, memerlukan waktu yang tidak sebentar
dan menghadapi rintangan yang banyak. Jika tidak disertai tsabat, tatsabbut akan
seenaknya saja dilanggar. Ilmu yang diperoleh pun tidak akan valid dan akan
kental dengan kesesatan. Kalaupun tidak sesat, minimalnya ilmu yang diteliti
tidak kunjung berkembang.
Kesabaran jenis kedua adalah kesabaran dalam menjalani hidup dengan
keterbatasan selama mencari ilmu. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa hal ini harus
dijalani agar dalam mencari ilmu tidak tersibukkan dengan aktivitas duniawi,
melainkan fokus sepenuhnya pada mencari ilmu.[5] Imam an-Nawawi dalam hal ini
mengutip pernyataan beberapa ulama:
قَالَ
الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى لَا يَطْلُبُ أَحَدٌ هَذَا الْعِلْمَ
بِالْمُلْكِ وَعِزِّ النَّفْسِ فَيَفْلَحَ وَلَكِنْ مَنْ طَلَبَهُ بِذُلِّ
النَّفْسِ وَضِيقِ الْعَيْشِ وَخِدْمَةِ الْعُلَمَاءِ أَفْلَحَ: وَقَالَ أَيْضًا
لَا يُدْرَكُ الْعِلْمُ إلَّا بِالصَّبْرِ عَلَى الذُّلِّ: وَقَالَ أَيْضًا لَا
يَصْلُحُ طَلَبُ الْعِلْمِ إلَّا لِمُفْلِسٍ فَقِيلَ وَلَا الْغَنِيُّ الْمُكَفَّى
فَقَالَ وَلَا الْغَنِيُّ الْمُكَفَّى
As-Syafi’i rahimahullah berkata: “Tidak ada seorang pun yang
mencari ilmu ini dengan kekuasaan dan ketinggian diri lalu ia sukses. Tetapi
orang yang mencarinya dengan kerendahan diri, kesempitan hidup, dan berkhidmat
kepada para ulama, ia akan sukses.” Beliau berkata juga: “Ilmu ini tidak
akan diperoleh kecuali dengan sabar dalam keterbatasan.” Beliau berkata
juga: “Tidak pantas mencari ilmu kecuali untuk orang yang bangkrut.” Ditanyakan
kepada beliau: “Orang yang kaya dan cukup tidak pantas?” Beliau menjawab:
“Orang yang kaya dan cukup tidak pantas.”
وَقَالَ
مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ رَحِمَهُ اللَّهُ لَا يَبْلُغُ أَحَدٌ مِنْ هَذَا الْعِلْمِ
مَا يُرِيدُ حَتَّى يضربه الفقر ويؤثره على كل شئ
Malik ibn Anas rahimahullah berkata: “Seseorang tidak akan
memperoleh apa yang ia inginkan dari ilmu ini sehingga tertimpa kefakiran dan
ia memprioritaskan ilmu di atas segala sesuatunya.”
وَقَالَ
أَبُو حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ يُسْتَعَانُ عَلَى الفقه بجمع الهم
وَيُسْتَعَانُ عَلَى حَذْفِ الْعَلَائِقِ بِأَخْذِ الْيَسِيرِ عِنْدَ الْحَاجَةِ
وَلَا يَزِدْ
Abu Hanifah rahimahullah berkata: “Akan terbantu untuk bisa
memahami dengan menguatkan semangat. Akan terbantu untuk menghilangkan
kesibukan dengan mengambil sedikit saja ketika butuh dan tidak berlebihan.”
وَقَالَ
إبْرَاهِيمُ الْآجُرِّيُّ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ بِالْفَاقَةِ وَرِثَ الْفَهْمَ
Ibrahim al-Ajuri berkata: “Siapa yang mencari ilmu dengan kesengsaraan,
ia akan mewarisi pemahaman.”[6]
Peringatan Imam an-Nawawi ini menemukan relevansinya pada zaman sekarang.
Ketika seorang mahasiswa tersibukkan dengan aktivitas duniawi, otomatis ia
tidak akan maksimal dalam mencari dan meneliti ilmu. Demikian halnya ketika
seorang mahasiswa lebih mementingkan penampilan dan gadgetnya, ia akan abai
dari memperkaya khazanah pustaka di lemarinya. Hidupnya yang serba instan dan
materialis berdampak negatif pada gaya belajarnya yang serba instan dan
menerapkan paham materialis pula.
Fakta bahwa beberapa jurusan keilmuan di perguruan tinggi menerapkan biaya
mahal untuk biaya pendidikannya berdampak pada lulusannya yang jauh dari
“fiqih” terhadap agama. Jika pada umumnya mereka adalah dokter, maka mereka
menjadi dokter yang materialis. Demikian halnya jika mereka adalah pengacara,
insinyur, atau bahkan sarjana agama sekalipun. Orientasi kemapanan duniawi yang
sudah dianut dalam hidup mereka selama mereka kuliah, akan terus abadi ketika
mereka sudah lulus dari kuliahnya. Jadilah ilmu yang diperoleh jauh dari
kategori “fiqih” dalam agama.
Berakhlaq Mulia
Imam al-Ghazali mengategorikan point ini pada wazhifah ula dari
sepuluh wazhifah yang harus diperhatikan oleh seorang pencari ilmu.
Menurutnya, seorang pencari ilmu sama halnya dengan seseorang yang akan shalat
yang harus bersih dari najis dan hadats. Dalam konteks ibadah batin seperti
mencari ilmu, najis dan hadats itu adalah kotoran hati dan jiwa. Jika ini tidak
dibersihkan terlebih dahulu, maka ilmu yang diperoleh akan batal.[7]
Imam an-Nawawi menekankannya dengan harus jauh dari sifat hasud, riya,
senang berbangga diri dan merendahkan orang lain. Di samping itu harus
merutinkan tasbih, tahlil, dan dzikir-dzikir atau do’a-do’a lainnya.
Merutinkan membaca al-Qur`an, shalat dan shaum sunat, dan adab-adab syar’i
lainnya sehingga hati senantiasa tawakkal kepada Allah swt.[8]
Cara Menuntut Ilmu
Imam al-Ghazali menekankan agar seorang pencari ilmu terlebih dahulu
mengetahui peta keilmuan. Setelah ia mengetahui peta keilmuan tersebut, ia
mulai mempelajarinya satu per satu, mulai dari yang terpenting. Tidak boleh
semua ilmu itu dipelajari secara bersamaan sekaligus, sebab satu ilmu akan
sangat terkait dengan ilmu lainnya yang harus dikuasai terlebih dahulu. Maka
dari itu, setiap disiplin keilmuan yang didalami harus tuntas sampai dikuasai.
Jangan pernah berpindah pada ilmu lainnya, sebelum ia menguasai ilmu yang
tengah diperdalamnya.[9]
Hirarki keilmuan yang harus dipelajari secara bertahap tersebut dijelaskan
oleh Imam an-Nawawi sebagai berikut:
وَيَنْبَغِي
أَنْ يَبْدَأَ مِنْ دُرُوْسِهِ عَلَى الْمَشَايِخِ وَفِي الْحِفْظِ وَالتِّكْرَارِ
وَالْمُطَالَعَةِ بِالْأَهَمِّ فَالْأَهَمِّ: وَأَوَّلُ مَا يَبْتَدِئُ بِهِ
حِفْظُ الْقُرْآنِ الْعَزِيْزِ فَهُوَ أَهَمُّ الْعُلُوْمِ وَكَانَ السَّلَفُ لاَ
يُعَلِّمُوْنَ الْحَدِيْثَ وَالْفِقْهَ إِلاَّ لِمَنْ حَفِظَ الْقُرْآنَ وَإِذَا
حَفِظَهُ فَلْيَحْذَرْ مِنَ الْاِشْتِغَالِ عَنْهُ بِالْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ
وَغَيْرِهِمَا اشْتِغَالاً يُؤَدِّي إِلَى نِسْيَانِ شَيْءٍ مِنْهُ أَوْ
تَعْرِيْضِهِ لِلنِّسْيَانِ. وَبَعْدَ حِفْظِ الْقُرْآنِ يَحْفَظُ مِنْ كُلِّ
فَنٍّ مُخْتَصَرًا وَيَبْدَأُ بِالْأَهَمِّ وَمِنْ أَهَمِّهَا الْفِقْهُ
وَالنَّحْوُ ثُمَّ الْحَدِيْثُ وَالْأُصُوْلُ ثُمَّ الْبَاقِي عَلَى مَا تَيَسَّرَ
Sudah semestinya seseorang mengawali belajarnya kepada para syaikh,
termasuk dalam hal hafalan dan kajian, dengan yang paling penting lalu yang
penting berikutnya. Hal pertama yang harus dipelajari adalah menghafal
al-Qur`an al-‘Aziz. Itu adalah ilmu yang paling penting. Para ulama salaf tidak
mengajarkan hadits dan fiqih kecuali kepada orang yang sudah hafal al-Qur`an.
Jika seseorang sudah hafal al-Qur`an waspadalah dari tersibukkan oleh hadits,
fiqih, atau lainnya yang menyebabkannya lupa dari hafalannya atau sebatas
mengganggu hafalannya. Setelah hafal al-Qur`an, baru seseorang menghafal ilmu
lainnya mulai dari yang mukhtashar (ringkasan). Mulai dari yang paling penting,
yaitu fiqih, nahwu, hadits, ushul, kemudian ilmu lainnya yang mudah
baginya.[10]
Penjelasan yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Syaikhul-Islam Ibn
Taimiyyah:
وَأَمَّا
طَلَبُ حِفْظِ الْقُرْآنِ فَهُوَ مُقَدَّمٌ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّا تُسَمِّيهِ
النَّاسُ عِلْمًا. وَهُوَ إمَّا بَاطِلٌ أَوْ قَلِيلُ النَّفْعِ. وَهُوَ أَيْضًا
مُقَدَّمٌ فِي التَّعَلُّمِ فِي حَقِّ مَنْ يُرِيدُ أَنْ يَتَعَلَّمَ عِلْمَ
الدِّينِ مِنْ الْأُصُولِ وَالْفُرُوعِ فَإِنَّ الْمَشْرُوعَ فِي حَقِّ مِثْلِ
هَذَا فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ أَنْ يَبْدَأَ بِحِفْظِ الْقُرْآنِ فَإِنَّهُ
أَصْلُ عُلُومِ الدِّينِ... وَالْمَطْلُوبُ مِنْ الْقُرْآنِ هُوَ فَهْمُ
مَعَانِيهِ وَالْعَمَلُ بِهِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ هَذِهِ هِمَّةَ حَافِظِهِ لَمْ
يَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالدِّينِ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ أَعْلَمُ
Adapun menghafal al-Qur`an maka itu harus diprioritaskan daripada ilmu lain
yang dikenal oleh manusia, entah itu ilmu yang batil ataupun yang sedikit
manfaatnya. Ia juga harus diprioritaskan daripada mempelajari ilmu-ilmu agama
baik yang ushûl-nya atau cabang-cabangnya. Karena sesungguhnya yang
disyari'atkan sebagai kewajiban dalam hal ini, pada waktu-waktu ini, adalah
mulai dengan menghafal al-Qur`an, karena itu merupakan ashal dari ilmu-ilmu
agama... Di samping itu, sudah barang tentu yang dituntut dari al-Qur`an adalah
memahami maknanya dan mengamalkannya. Jika bukan ini yang menjadi motif dari
sang penghafal al-Qur`an, maka tentu ia tidak termasuk ahli ilmu dan agama.
Allah Subahanahu lebih mengetahui.[11]
Sungguh merupakan kekeliruan besar ketika ada seorang mahasiswa terjebak
dengan sistem belajar semester, atau S1, S2, S3. Ketika semester selesai atau
kuliah sudah lulus, maka belajar ilmu pun harus selesai, meski sebenarnya ia
belum menguasai ilmu yang dipelajarinya. Seyogianya ia mengajukan diri untuk mengulang
semesternya, atau minimalnya belajar di jalur nonformal atau informal untuk
menguatkan pemahamannya terhadap ilmu yang dipelajarinya. Ia harus terus
mempelajarinya sampai tuntas, meski kuliah sudah lulus.
Demikian halnya, kekeliruan lainnya adalah ketika mahasiswa mengabaikan tahfizh
al-Qur`an dan penguasaan pada ilmu-ilmu fardlu ‘ain seperti nahwu, hadits,
ushul, dan fiqih. Padahal ilmu-ilmu fardlu ‘ain tersebut, sebagaimana
ditegaskan al-Attas, menyingkap rahasia Being dan Eksistensi,
menerangkan dengan sebenar-benarnya hubungan antara diri manusia dan Tuhan, dan
menjelaskan maksud dari mengetahui sesuatu dan tujuan kehidupan yang
sebenarnya. Ketika ilmu pengetahuan tidak dibimbing dengan ilmu-ilmu fardlu
‘ain maka ilmu-ilmu tersebut akan membingungkan manusia dan secara terus
menerus menjebak mereka dalam suasana pencarian tujuan dan makna kehidupan yang
meragukan dan salah.[12]
[1] An-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, bab adabul-mu’allim.
[2] Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin, Kitabul-‘Ilm, bab fi adab
thalibil-‘ilm, al-amrul-awwal. Hadits di atas diriwayatkan dalam
Al-Mustadrak al-Hakim kitab al-‘ilm bab man ta’allama ‘ilman mimma
yabtaghi bihi wajhal-‘Llah no. 264-265.
[3] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, Kuala Lumpur: ISTAC (International Institute of
Islamic Thought and Civilization), 1998, hlm. 227.
[4] Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin, Kitabul-‘Ilm, bab fi adab
thalibil-‘ilm, al-amrul-hadi ‘asyar.
[5] An-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, bab adabul-muta’allim.
[6] Ibid.
[7] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya` ‘Ulumid-din, bab fi
adabil-muta’allim wal-mu’allim.
[8] An-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, bab adabul-mu’allim.
[9] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya` ‘Ulumid-din, bab fi
adabil-muta’allim wal-mu’allim, al-wazhifah al-khamisah-as-sabi’ah.
[10] An-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, bab adabul-mu’allim.
[11] Ibn Taimiyyah, Majmû' Fatâwâ, jilid 23, hlm. 54-55.
[12] Wan Daud, The Educational Philosophy, hlm. 115.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar