Rabu, 04 Oktober 2017

Tahfizh al-Qur`an Basis Pendidikan Islam

Oleh: Dr. Nashruddin Syarief, S.S., M.Pd.I.

Tahfizh al-Qur`an secara filosofis ataupun historis merupakan basis dari pendidikan Islam. Secara filosofis pendidikan Islam fokus mendidik jiwa dan hati agar seorang peserta didik menjadi “manusia beradab” dalam konsep ta`dib, atau “manusia rabbani” dalam konsep tarbiyah. Salah satu makanan pokok bagi hati itu sendiri adalah dzikir al-Qur`an. Dzikir al-Qur`an caranya adalah melalui tahfizh al-Qur`an untuk kemudian diamalkan sebagai bacaan dalam shalat. Maka dari itu mustahil pendidikan Islam melepaskan diri dari tahfizh al-Qur`an. Secara historis, para ulama telah menjelaskan bahwa tahfizh al-Qur`an ini harus jadi prioritas pendidikan atau pembelajaran sebelum pendidikan ilmu-ilmu lainnya. Sebab al-Qur`an adalah sumber ajaran. Memahami dan mengingatnya menjadi prasyarat mutlak agar para peserta didik dalam pendidikan Islam bisa menjadikan al-Qur`an sebagai rujukan utama dalam setiap aktivitas pendidikan yang dijalaninya.
Pertimbangan Filosofis
Pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk manusia yang baik, bukan warga negara yang baik.[1] Manusia yang baik dalam Islam adalah manusia yang baik secara akal dan jiwa. Bukan baik fisik dan akalnya saja, tetapi jiwanya rusak. Dalam First World Conference on Islamic Education pada tahun 1977 ditegaskan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah:
Pendidikan harus bertujuan pada pertumbuhan kepribadian manusia yang utuh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek dan rasio, perasaan dan indera-indera badan manusia. Latihan yang diberikan kepada seorang Muslim yang harus menjadi keyakinan semacam itu disuntikkan ke seluruh kepribadiannya dan menciptakan dalam dirinya kecintaan emosional kepada Islam dan memungkinkannya mengikuti al-Qur`an dan sunnah dan diatur oleh sistem nilai Islam secara ikhlas dan gembira sehingga ia dapat menjalankan kesadaran statusnya sebagai khalifah Tuhan, yang kepadanya Tuhan menjanjikan kekuasaan alam semesta; …Pendidikan harus menumbuhkan dalam diri manusia gerak hati agar mengatur dirinya dan alam semesta sebagai hamba Tuhan yang benar, bukan dengan menentang dan masuk dalam konflik terhadap alam, tetapi dengan memahami hukum-hukumnya dan memandatkan keuasaan-kekuasaannya bagi pertumbuhan suatu kepribadian yang berada dalam kerukunan dengannya.[2]
Al-Qur`an menyebut manusia yang baik itu dengan berbagai sifat, yakni orang-orang yang beriman, bertaqwa, atau senantiasa ihsan (berbuat baik). Dari kesemua sifat manusia yang baik itu selalu disebutkan bahwa modalnya adalah penghayatan terhadap kitab suci al-Qur`an. Al-Qur`an disebutkan oleh Allah swt sudah menjadi hudan bagi manusia-manusia terbaik tersebut.[3]
Al-Qur`an dapat menjadi hudan bagi manusia terbaik karena al-Qur`an sudah ditempatkan sebagai kitab yang mutasyabih (dipahami keterkaitan antara ayat-ayatnya di berbagai surat yang berbeda) dan matsani (diulang-ulang dibaca dan diketahui selalu ada padanan atau lawannya dalam ayat yang lain).[4] Artinya al-Qur`an dipahami seluruh maknanya—meski tidak harus mendalam sedalam pemahaman para ulama tafsir—dan senantiasa dibaca berulang-ulang dan dihafalkan. Dengan memperlakukan al-Qur`an sebagaimana harusnya seperti itu, maka al-Qur`an akan selalu mampu menggetarkan hati dan tubuh orang-orang beriman, bertaqwa, atau senantiasa ihsan secara sekaligus, sehingga selalu menjadi hudan bagi mereka.
Maka dari itu, sejak diutusnya para Nabi ‘alaihimus-salam, Allah swt sudah memberikan ajaran kepada mereka agar mengajar umatnya untuk menjadi manusia yang rabbani; dekat dan selalu mengabdi kepada Rabb, dengan ciri utama mampu mengajar al-kitab dan men-dars-nya.
Tidak mungkin bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Kitab dan disebabkan kamu tetap men-dars-nya.”[5]
Imam Ibn Katsir, mengutip penjelasan terkait ayat di atas dari mufassir salaf, ad-Dlahhak, sebagai berikut:
وَقَالَ الضَّحَّاكُ فِي قَوْلِهِ: {بما كنتم تعلمون الكتاب} حَقٌّ عَلَى مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ أَنْ يَكُوْنَ فَقِيْهًا {وبما كنتم تدرسون} تَحْفَظُوْنَ أَلْفَاظَهُ
Ad-Dlahhak berkata tentang firman Allah {karena kamu selalu mengajarkan Kitab}: “Sebuah kemestian bagi yang belajar al-Qur`an untuk menjadi faqih/orang yang faham.” {disebabkan kamu tetap men-dars-nya} maksudnya “menghafalkan lafazh-lafazhnya”.[6]
Dari ayat di atas, beserta penjelasan dari ad-Dlahhak, diketahui bahwa dars/tadarus ini merupakan ajaran semua Nabi as kepada umatnya. Semua Nabi as pasti mengajarkan umatnya untuk menjadi rabbani; manusia yang mematuhi aturan Rabb/Allah swt. Amal yang harus dilakukan agar menjadi rabbani adalah belajar dan mengajar al-Qur`an, juga menghafal ayat-ayatnya. Artinya dari sejak era para Nabi as sebelum Nabi Muhammad saw pun, tahfizh al-Qur`an ini sudah menjadi salah satu kurikulum penting dalam pendidikan Islam.
Maka dari itu misi utama kenabian yang dijelaskan dalam berbagai ayat selalu mengawalinya dengan tilawah (membacakan ayat-ayat Allah), lalu tazkiyah (mensucikan jiwa), dan baru kemudian ta’lim (mengajari ilmu).[7] Penanaman tilawah dan tazkiyah memang harus didahulukan, sebab memang ilmu-ilmu Allah swt hanya cocok dimiliki oleh orang-orang yang hatinya sudah suci. Pensucian hati itu sendiri dimulai dengan tilawah ayat-ayat al-Qur`an. Batasan ideal dari tilawah al-Qur`an itu sendiri adalah membaca melalui hafalan yang bersumber dari hati.
Imam al-Ghazali dalam hal ini mengkritik keras para pengkaji ilmu agama yang mengabaikan aspek pengayaan jiwa. Dalam kitabnya, Ihya` ‘Ulumid-Din, Imam al-Ghazali menyoroti secara khusus kekeliruan tokoh-tokoh agama yang mengikuti madzhab fiqih seorang ulama madzhab hanya dalam aspek fiqihnya semata, dengan mengabaikan aspek muraqabah (merasa diperhatikan Allah)-nya. Uraian ini menjadi sangat penting, karena menurutnya, banyak sekali yang kemudian mempelajari satu madzhab ulama besar dan mengklaim dirinya bagian dari madzhab tersebut, tetapi secara akhlaq jauh dari apa yang sudah digariskan oleh para ulama madzhabnya.
Dalam konteks pendidikan modern saat ini, peringatan dari Imam al-Ghazali seperti akan diuraikan di bawah menjadi sangat relevan, mengingat hari ini pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi Islam didirikan dengan tujuan utama mencetak mutafaqqih fid-din; lulusan-lulusan yang menguasai ilmu agama dari aspek fiqih atau kognitifnya. Tidak ada yang salah dari tujuan tersebut sepanjang aspek ruhiahnya juga tidak diabaikan. Sebab hakikat tujuan pendidikan Islam itu adalah mencetak “manusia beradab” dalam konsep ta`dib, atau “manusia rabbani” dalam konsep tarbiyah. Letak intinya di qalb-nya; hati, jiwa, ruh, akhlaq yang diselimuti oleh adab atau nilai-nilai rabbaniyyah.
Dalam bab al-‘ilmil-lladzi huwa fardlu kifayah, Imam al-Ghazali menulis:
سَنَنْقُلُ مِنْ سِيْرَةِ فُقَهَاءِ السَّلَفِ مَا تَعْلَمُ بِهِ أَنَّ الَّذِيْنَ انْتَحَلُوْا مَذَاهِبَهُمْ ظَلَمُوْهُمْ وَأَنَّهُمْ مِنْ أَشَدِّ خُصَمَائِهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَإِنَّهُمْ مَا قَصَدُوا بْالْعِلْمِ إِلاَّ وَجْهَ اللهِ تعالى وَقَدْ شُوْهِدَ مِنْ أَحْوَالِهِمْ مَا هُوَ مِنْ عَلاَمَاتِ عُلَمَاءِ الْآخِرَةِ... فَإِنَّهُمْ مَا كَانُوْا مُتَجَرَّدِيْنَ لِعِلْمِ الْفِقْهِ بَلْ كَانُوْا مُشْتَغِلِّيْنَ بِعِلْمِ الْقُلُوْبِ وَمُرَاقَبِيْنَ لَهَا
Kita akan kutip sedikit riwayat hidup para fuqaha salaf yang anda akan tahu sendiri bahwa orang-orang yang mengaku sebagai bagian dari madzhab mereka banyak yang justru menzhalimi mereka, dan bahkan mereka akan menjadi musuh paling keras para fuqaha salaf tersebut pada hari kiamat nanti. Sebab para fuqaha salaf tidak memiliki niatan lain selain wajah Allah ta’ala, dan itu akan tersaksikan dari kehidupan mereka yang penuh dengan tanda-tanda ulama akhirat... Salah satunya, mereka tidak hanya memperdalam ilmu fiqih, tetapi mereka juga menyibukkan diri memperdalam ilmu hati dan muraqabah dalam hal itu.[8]
Imam al-Ghazali menyebutkan salah satu contohnya, Imam as-Syafi’i, fuqaha salaf yang dijadikan rujukan madzhab olehnya. Beliau menjelaskan:
أَمَّا الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ رحمه الله تعالى فَيَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ كَانَ عَابِداً مَا رُوِيَ أَنَّهُ كَانَ يَقْسِمُ اللَّيْلَ ثَلاَثَةَ أَجْزَاءٍ: ثُلُثًا لِلْعِلْمِ، وَثُلُثاً لِلْعِبَادَةِ. وَثُلُثاً لِلنَّوْمِ. قَالَ الرَّبِيْعُ: كَانَ الشَّافِعِيُّ رحمه الله يَخْتِمُ الْقُرْآنَ فِي رَمَضَانَ سِتِّيْنَ مَرَّةً كُلُّ ذَلِكَ فِي الصَّلاَةِ. وَقَالَ الْحَسَنُ الْكَرَابِيْسِي: بِتُّ مَعَ الشَّافِعِيِّ غَيْرَ لَيْلَةٍ فَكَانَ يُصَلِّي نَحْواً مِنْ ثُلُثِ اللَّيْلِ فَمَا رَأَيْتُهُ يَزِيْدُ عَلَى خَمْسِيْنَ آيَةً، فَإِذَا أَكْثَرَ فَمِائَةُ آيَةٍ، وَكَانَ لاَ يَمُرُّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ إِلاَّ سَأَلَ اللهَ لِنَفْسِهِ وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُؤْمِنِيْنَ، وَلاَ يَمُرُّ بِآيَةِ عَذَابٍ إِلاَّ تَعَوَّذَ فِيْهَا وَسَأَلَ النَّجَاةَ لِنَفْسِهِ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ
Imam as-Syafi’i rahimahul-‘Llah, yang menunjukkan bahwa beliau seorang ‘abid (ahli ibadah) adalah riwayat tentang beliau selalu membagi malam menjadi tiga bagian: sepertiga pertama untuk ilmu, sepertiga kedua untuk ibadah, dan sepertiga ketiga untuk tidur. Ar-Rabi’ berkata: Imam as-Syafi’i rahimahul-‘Llah khatam al-Qur`an di bulan Ramadlan 60 kali, semuanya dibaca dalam shalat. Al-Hasan al-Kurabisi berkata: Aku bermalam bersama Imam as-Syafi’i bukan hanya satu malam (melainkan pernah lama atau cukup sering). Beliau shalat malam kurang lebih sepertiga malam. Aku jarang sekali melihatnya melebihkan bacaan dari 50 ayat. Kalaupun ada yang lebih panjang paling sekitar 100 ayat. Beliau tidak berkesempatan membaca ayat tentang rahmat Allah melainkan beliau berhenti dulu dan memohon terlebih dahulu rahmat kepada Allah untuk dirinya dan semua kaum muslimin. Tidak juga berkesempatan membaca ayat tentang siksa Allah melainkan beliau berhenti dulu dan memohon perlindungan terlebih dahulu seraya memohon keselamatan untuk dirinya dan semua kaum mukminin.[9]
Imam al-Ghazali kemudian menyimpulkan:
وَلَمْ يَسْتَفِدِ الشَّافِعِيُّ رحمه الله هَذَا الْخَوْفَ وَالزُّهْدَ مِنْ عِلْمِ كِتَابِ السُّلَّمِ وَالْإِجَارَةِ وَسَائِرِ كُتُبِ الْفِقْهِ، بَلْ هُوَ مِنْ عُلُوْمِ الْآخِرَةِ الْمُسْتَخْرَجَةِ مِنَ الْقُرْآنِ وَالْأَخْبَارِ
Imam as-Syafi’i rahimahul-‘Llah tidak mengambil nilai-nilai khauf dan zuhud seperti itu dari ilmu kitab as-Sullam, al-Ijarah, dan kitab-kitab fiqih lainnya, melainkan dari ilmu-ilmu akhirat yang digali dari al-Qur`an dan akhbar.[10]
Uraian al-Ghazali di atas menyingkap rahasia mengapa para ulama menekankan pentingnya hafalan al-Qur`an sebelum mempelajari ilmu-ilmu agama lainnya. Sebab inti dari pendidikan Islam itu ada di ilmu-ilmu hati. Inti dari ilmu hati itu adalah shalat dan bacaan al-Qur`an di dalamnya, khususnya dalam shalat malam.
Terkait hal ini, al-Qur`an sudah mengingatkan dalam surat al-Muzzammil bahwa bacaan al-Qur`an secara tartil dalam shalat malam adalah yang paling membekas dalam hati (asyaddu wath’an wa aqwamu qilan). Di waktu siang susah untuk mencapai kondisi hati yang ideal seperti itu karena terlampau banyak kesibukan duniawi. Maka memasukkan “ilmu hati” lewat tartil al-Qur`an seperti diperintahkan ayat-ayat awal surat al-Muzzammil tersebut akan sangat bergantung pada hafalan al-Qur`an.
Hadits Ibn ‘Abbas tentang tadarus al-Qur`an juga memberikan tuntunan yang gamblang betapa erat kaitannya pendidikan hati dengan tadarus (evaluasi hafalan) al-Qur`an. Nabi saw sebagai orang yang paling dermawan, setiap kali selesai tadarus al-Qur`an dengan Jibril di malam harinya, keesokan harinya selalu menjadi lebih dermawan kembali. al-Hafizh dalam hal ini menegaskan: “Karena mudarasah al-Qur`an akan senantiasa memperbarui perjanjian primordial (ajaran yang bersemayam di hati) dengan bertambahnya kaya hati, dan kekayaan yang ini menjadi sebab adanya kedermawanan.”[11]
Fakta Historis
Sebagaimana sudah disinggung di atas, para Nabi ‘alaihimus-salam dari sejak lama selalu mengajarkan agar umatnya menjadi manusia rabbani; dekat dan selalu mengabdi kepada Rabb, yang cirinya mampu mengajar al-kitab dan men-dars-nya. Mengajar kitab artinya memahami dan sudah mengamalkannya. Sementara dars artinya menghafal ayat-ayatnya. Artinya dari sejak awal era para Nabi as sebelum Nabi Muhammad saw sudah diajarkan bahwa tahfizh kitab suci itu salah satu materi penting pendidikan untuk membentuk manusia rabbani.
Berkaitan dengan hal itu, Imam an-Nawawi dalam muqaddimah kitab al-Majmu’ menjelaskan sebagai berikut:
وَيَنْبَغِي أَنْ يَبْدَأَ مِنْ دُرُوْسِهِ عَلَى الْمَشَايِخِ وَفِي الْحِفْظِ وَالتِّكْرَارِ وَالْمُطَالَعَةِ بِالْأَهَمِّ فَالْأَهَمِّ: وَأَوَّلُ مَا يَبْتَدِئُ بِهِ حِفْظُ الْقُرْآنِ الْعَزِيْزِ فَهُوَ أَهَمُّ الْعُلُوْمِ وَكَانَ السَّلَفُ لاَ يُعَلِّمُوْنَ الْحَدِيْثَ وَالْفِقْهَ إِلاَّ لِمَنْ حَفِظَ الْقُرْآنَ وَإِذَا حَفِظَهُ فَلْيَحْذَرْ مِنَ الْاِشْتِغَالِ عَنْهُ بِالْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ وَغَيْرِهِمَا اشْتِغَالاً يُؤَدِّي إِلَى نِسْيَانِ شَيْءٍ مِنْهُ أَوْ تَعْرِيْضِهِ لِلنِّسْيَانِ. وَبَعْدَ حِفْظِ الْقُرْآنِ يَحْفَظُ مِنْ كُلِّ فَنٍّ مُخْتَصَرًا وَيَبْدَأُ بِالْأَهَمِّ وَمِنْ أَهَمِّهَا الْفِقْهُ وَالنَّحْوُ ثُمَّ الْحَدِيْثُ وَالْأُصُوْلُ ثُمَّ الْبَاقِي عَلَى مَا تَيَسَّرَ
Sudah semestinya seseorang mengawali belajarnya kepada para syaikh, termasuk dalam hal hafalan dan kajian, dengan yang paling penting lalu yang penting berikutnya. Hal pertama yang harus dipelajari adalah menghafal al-Qur`an al-‘Aziz. Itu adalah ilmu yang paling penting. Para ulama salaf tidak mengajarkan hadits dan fiqih kecuali kepada orang yang sudah hafal al-Qur`an. Jika seseorang sudah hafal al-Qur`an waspadalah dari tersibukkan oleh hadits, fiqih, atau lainnya yang menyebabkannya lupa dari hafalannya atau sebatas mengganggu hafalannya. Setelah hafal al-Qur`an, baru seseorang menghafal ilmu lainnya mulai dari yang mukhtashar (ringkasan). Mulai dari yang paling penting, yaitu fiqih, nahwu, hadits, ushul, kemudian ilmu lainnya yang mudah baginya.[12]
Penjelasan yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah:
وَأَمَّا طَلَبُ حِفْظِ الْقُرْآنِ فَهُوَ مُقَدَّمٌ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّا تُسَمِّيهِ النَّاسُ عِلْمًا. وَهُوَ إمَّا بَاطِلٌ أَوْ قَلِيلُ النَّفْعِ. وَهُوَ أَيْضًا مُقَدَّمٌ فِي التَّعَلُّمِ فِي حَقِّ مَنْ يُرِيدُ أَنْ يَتَعَلَّمَ عِلْمَ الدِّينِ مِنْ الْأُصُولِ وَالْفُرُوعِ فَإِنَّ الْمَشْرُوعَ فِي حَقِّ مِثْلِ هَذَا فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ أَنْ يَبْدَأَ بِحِفْظِ الْقُرْآنِ فَإِنَّهُ أَصْلُ عُلُومِ الدِّينِ... وَالْمَطْلُوبُ مِنْ الْقُرْآنِ هُوَ فَهْمُ مَعَانِيهِ وَالْعَمَلُ بِهِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ هَذِهِ هِمَّةَ حَافِظِهِ لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالدِّينِ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ أَعْلَمُ
Adapun menghafal al-Qur`an maka itu harus diprioritaskan daripada ilmu lain yang dikenal oleh manusia, entah itu ilmu yang batil ataupun yang sedikit manfaatnya. Ia juga harus diprioritaskan daripada mempelajari ilmu-ilmu agama baik yang ushûl-nya atau cabang-cabangnya. Karena sesungguhnya yang disyari'atkan sebagai kewajiban dalam hal ini, pada waktu-waktu ini, adalah mulai dengan menghafal al-Qur`an, karena itu merupakan ashal dari ilmu-ilmu agama... Di samping itu, sudah barang tentu yang dituntut dari al-Qur`an adalah memahami maknanya dan mengamalkannya. Jika bukan ini yang menjadi motif dari sang penghafal al-Qur`an, maka tentu ia tidak termasuk ahli ilmu dan agama. Allah Subahanahu lebih mengetahui.[13]
Titik tekan tahfizh yang dijelaskan Ibn Taimiyyah di atas tentu bukan sebatas menghafalnya, melainkan juga dengan memahami dan menghayati makna-maknanya, di samping tentu mengamalkannya. Sebab tahfizh al-Qur`an masuk kategori dzikr bukan dalam hal sebatas mengulang-ulangnya saja, tetapi juga menghayati kandungannya.
Panduan Tahfizh
Nabi saw memerintahkan agar tahfizh al-Qur`an diamalkan dengan cara merutinkan membacanya (muraja’ah) sepanjang hayat dikandung badan. Jangan putus asa karena mudah lupa lagi, sebab itu sudah menjadi bagian mu’jizat al-Qur`an, agar al-Qur`an terus dibaca dan dihafal di sepanjang hayat.
Cara muraja’ah yang diperintahkan oleh Nabi saw adalah dengan membacanya dalam shalat; baik shalat siang ataupun shalat malam. Di samping itu diberlakukan hizb (agenda rutin) khusus dalam shalat tahajjud dan dluha.
Perintah Nabi saw untuk menghafal al-Qur`an sepanjang hayat tanpa putus asa karena mudah lupa adalah sebagai berikut:
بِئْسَ مَا لأَحَدِهِمْ أَنْ يَقُولَ نَسِيتُ آيَةَ كَيْتَ وَكَيْتَ بَلْ نُسِّىَ، وَاسْتَذْكِرُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ أَشَدُّ تَفَصِّيًا مِنْ صُدُورِ الرِّجَالِ مِنَ النَّعَمِ
Alangkah jeleknya seseorang di antara kamu yang berkata: “Aku lupa sejumlah ayat ini dan itu,” karena yang benar ia dijadikan lupa. Maka dari itu hafalkanlah al-Qur`an, karena sesungguhnya dia lebih mudah terlepas dari ingatan seseorang daripada terlepasnya unta.[14]
Hadits ini menekankan wajibnya menghafal al-Qur`an sehingga al-Qur`an tidak mudah lepas dari ingatan. Menghafal yang dimaksud adalah menghafal sepanjang hayat, tanpa ada putus asanya. Orang yang berhenti menghafal karena putus asa tidak kunjung hafal, itulah yang disebut orang jelek oleh Nabi saw di atas. al-Qur`an tidak kunjung hafal karena memang menghafalnya dengan putus asa. Semestinya terus menghafal sepanjang hayat tanpa ada putus asa, niscaya hafalan al-Qur`an tidak akan ada yang lupa.
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan makna istadzkiru dalam hadits di atas sebagai berikut:
وَاظِبُوا عَلَى تِلاَوَتِهِ وَاطْلُبُوا مِنْ أَنْفُسكُمْ الْمُذَاكَرَة بِهِ
Rutinkanlah membacanya dan tuntutlah diri kalian untuk mengingat-ingatnya.[15]
Dengan kata lain, hafalkanlah al-Qur`an dengan rutin. Kalau tidak dihafal dengan rutin, maka seseorang selamanya tidak akan mampu mengingat al-Qur`an sebab al-Qur`an akan selalu mudah lepas dari ingatan. Jadi tidak benar jika alasan tidak menghafal al-Qur`an karena sering cepat lupanya. Justru karena mudah lupa, al-Qur`an jadi harus lebih sering dihafal.
Dalam hadits lain Nabi saw memerintahkan:
تَعَاهَدُوا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَصِّيًا مِنَ الإِبِلِ فِى عُقُلِهَا
Jagalah hafalan al-Qur`an, karena sesungguhnya dia lebih mudah terlepas dari ingatan seseorang daripada terlepasnya unta dari ikatannya.[16]
Maksud dari ta’ahadu dalam hadits di atas menurut al-Hafizh Ibn Hajar adalah:
تَجْدِيدُ الْعَهْدِ بِهِ بِمُلاَزَمَةِ تِلاَوَتِهِ
Terus-terusan memperbarui hafalan al-Qur`an dengan merutinkan membaca. [17]
Sama seperti hadits sebelumnya, perintah menghafal al-Qur`an ini penting karena al-Qur`an mudah lepas dari ingatan. Maka dari itu harus terus-terusan diulang dan diulang lagi. Jangan malah dibiarkan tanpa diulang-ulang. Jadinya akan lepas lagi dari ingatan, bahkan lepas selama-lamanya.
Dalam riwayat lain, masih dari Shahih al-Bukhari, Nabi saw menjelaskan maksud perserupaan menghafal al-Qur`an dengan mengikat unta sebagai berikut:
إِنَّمَا مَثَلُ صَاحِبِ الْقُرْآنِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الإِبِلِ الْمُعَقَّلَةِ إِنْ عَاهَدَ عَلَيْهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ أَطْلَقَهَا ذَهَبَتْ
Sesungguhnya perumpamaan seseorang yang mempelajari al-Qur`an seperti seorang pemilik unta yang diikat. Jika ia terus menjaga ikatannya, ia bisa terus menahannya. Tetapi jika ia melepaskan ikatannya, maka unta itu akan terlepas.[18]
Maksud dari “melepaskan ikatan” yakni seorang pengkaji al-Qur`an yang tidak rutin lagi menghafal al-Qur`an. Sebab dalam hadits di atas, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, Nabi saw menyamakan mempelajari dan merutinkan membaca al-Qur`an dengan mengikat unta. Maka maksud “melepaskan ikatan” dalam konteks al-Qur`an itu adalah tidak lagi mempelajari dan merutinkan membaca al-Qur`an. Konsekuensinya, hafalan al-Qur`an pun akan terlepas kembali seperti halnya unta. Jika demikian, maka itulah yang dikritik pedas oleh Nabi saw dalam hadits di awal.
Nabi saw menyamakan hafalan al-Qur`an dengan unta, menurut Ibn Hajar, karena memang unta adalah hewan jinak yang paling mudah kabur. Jadi artinya Nabi saw menggambarkan bahwa hafalan al-Qur`an itu mudah kaburnya, maka dari itu harus dirutinkan. Jika tidak rutin, hafalan al-Qur`an otomatis akan hilang.
فَمَا زَالَ التَّعَاهُدُ مَوْجُودًا فَالْحِفْظُ مَوْجُودٌ، كَمَا أَنَّ الْبَعِيرَ مَا دَامَ مَشْدُودًا بِالْعِقَالِ فَهُوَ مَحْفُوظٌ
Selama rutinitas menghafal ada, maka hafalan pun akan selalu ada. Sebagaimana halnya seekor unta, selama ia diikat maka ia tidak akan lepas.[19]
Cara menghafal al-Qur`an yang dimaksud adalah dengan melakukan muraja’ah (mengulang-ulang) pada shalat, baik shalat malam atau siang. Jika seseorang berstatus ma`mum, maka muraja’ah pada shalat siang bisa diamalkan pada shalat-shalat yang sir atau shalat sunat. Hadits di atas, dalam sanad yang lain menyebutkan sabda Nabi saw sebagai berikut:
وَإِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقُرْآنِ فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِذَا لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ
Apabila penghafal al-Qur`an itu qiyam (shalat) dan membacanya di waktu (shalat) malam dan siang, maka ia akan mengingatnya. Jika ia tidak shalat dengannya, ia akan melupakannya.[20]
Maksud “shahibul-Qur`an”, menurut Imam an-Nawawi, adalah seseorang yang alifahu; sudah lembut menyertai al-Qur`an atau mampu menjinakkan al-Qur`an. Caranya adalah selalu menjadi sahabat atau menyertai al-Qur`an. Jadi ia tidak pernah jauh dari al-Qur`an; selalu membacanya dan mengulang-ulang hafalannya.
Fakta bahwa al-Qur`an mudah lepas dari ingatan jika tidak dihafal sepanjang hayat, adalah pengakuan Nabi saw sendiri:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِىُّ r يَسْتَمِعُ قِرَاءَةَ رَجُلٍ فِى الْمَسْجِدِ. فَقَالَ رَحِمَهُ اللهُ لَقَدْ أَذْكَرَنِى آيَةً كُنْتُ أُنْسِيتُهَا
Dari ‘Aisyah, ia berkata: Nabi saw pernah sengaja menyimak bacaan seseorang di masjid. Beliau lalu bersabda: “Semoga Allah merahmatinya. Sungguh ia telah mengingatkanku satu ayat yang aku dijadikan lupa atasnya.”[21]
Tetapi Imam an-Nawawi menegaskan bahwa lupanya Nabi saw di atas itu adalah lupa manusiawi pada saat bukan tabligh (menyampaikan ajaran). Sebab pada saat tabligh, Nabi saw dijamin tidak lupa satu huruf sekalipun (QS. al-Qiyamah [75] : 16-19). Adanya kemungkinan lupa secara manusiawi inilah yang menyebabkan Nabi saw mencontohkan dan memerintahkan umatnya untuk selalu menghafal al-Qur`an sepanjang hayat. Salah satu caranya adalah dengan menyengajakan diri menyimak bacaan al-Qur`an orang lain seperti Nabi saw contohkan di atas.
Saking harusnya menghafal al-Qur`an, Imam an-Nawawi sampai mengaitkan kemalasan orang-orang menghafal al-Qur`an dengan ayat berikut:
Allah berfirman: "Demikianlah (kamu buta karena), telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan".[22]
Imam an-Nawawi menjelaskan, yang termasuk lupa dalam ayat di atas adalah orang yang pernah menghafal al-Qur`an, lalu ia lalai, sehingga melupakan ayat-ayatnya lagi.[23]
Perintah Nabi saw secara khusus untuk memberlakukan hizb (agenda rutin) hafalan al-Qur`an dalam shalat malam dan dluha adalah sebagai berikut:
مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ أَوْ عَنْ شَىْءٍ مِنْهُ فَقَرَأَهُ فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الظُّهْرِ كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنَ اللَّيْلِ
Siapa yang tertidur dari hizb (rutinitas bacaan al-Qur`an)-nya atau dari sedikit hizbnya, lalu ia membacanya antara shalat shubuh dan zhuhur (yakni dluha), akan dicatat pahalanya sebagaimana halnya ia membaca di malam hari.[24]
Dalam hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr, Nabi saw memerintahkan agar di setiap malam al-Qur`an minimalnya dibaca 1 juz dalam shalat. Maksimalnya sampai 10 juz setiap malam. Ini disampaikan kepada ‘Abdullah ibn ‘Amr setelah Nabi saw mendapatkan informasi bahwa ia biasa shaum setiap hari dan membaca al-Qur`an dalam shalat malam 30 juz sepanjang malam:
أُخْبِرَ رَسُولُ اللهِ r أَنَّهُ يَقُولُ لأَقُومَنَّ اللَّيْلَ وَلأَصُومَنَّ النَّهَارَ مَا عِشْتُ
Diberitahukan kepada Rasulullah saw bahwasanya ia berkata: ‘Aku akan shalat sepanjang malam dan shaum siang hari selama aku hidup’.[25]
Maka Nabi saw menginterogasi Ibn ‘Amr:
أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ الدَّهْرَ وَتَقْرَأُ الْقُرْآنَ كُلَّ لَيْلَةٍ
Benarkah saya diberitahu bahwa kamu shaum sepanjang tahun dan membaca al-Qur`an (dalam shalat) setiap malam?[26]
Dalam sanad Mujahid, Nabi saw menginterogasi Ibn ‘Amr sebagai berikut:
فَقَالَ كَيْفَ تَصُومُ قَالَ كُلَّ يَوْمٍ قَالَ وَكَيْفَ تَخْتِمُ قَالَ كُلَّ لَيْلَةٍ
Nabi saw bertanya: “Bagaimana kamu shaum?” Ibn ‘Amr menjawab: “Setiap hari.” Beliau bertanya: “Bagaimana kamu khatam (dalam shalat)?” Ibn ‘Amr menjawab: “Setiap malam.” [27]
Nabi saw kemudian berturut-turut menganjurkan agar shaum 1 hari, 2 hari, 3 hari atau sampai 15 hari di setiap bulan, yakni shaum Dawud; shaum satu hari, buka satu hari. Sementara untuk bacaan al-Qur`an dalam shalat malam, Nabi saw memerintahkan:
اقْرَإِ الْقُرْآنَ فِي كُلِّ شَهْرٍ قَالَ إِنِّي أُطِيقُ أَكْثَرَ فَمَا زَالَ حَتَّى قَالَ فِي ثَلَاثٍ
“Bacalah al-Qur`an (ketika shalat malam) dalam setiap bulan (1 malam 1 juz).” Ibn ‘Amr berkata: “Saya kuat lebih dari itu.” Maka terus-terusan Nabi saw menguranginya (dari 20 malam, 10 malam, 7 malam) sampai beliau bersabda: “Maksimal dalam tiga malam (1 malam 10 juz).”[28]
Nabi saw sendiri mencontohkan 20 surat dalam 10 raka’at. Di antara yang sering beliau baca adalah: (1) ar-Rahman dan an-Najm; (2) Iqtarabat (al-Qamar) dan al-Haqqah; (3) at-Thur dan adz-Dzariyat; (4) Idza waqa’at (al-Waqi’ah) dan Nun (al-Qalam); (5) Sa`ala sa`ilun (al-Ma’arij) dan an-Nazi’at; (6) Wailul-lil-muthaffifin dan ‘Abasa; (7) al-Muddatstsir dan al-Muzzammil; (8) Hal ata (al-Insan) dan La uqsimu bi yaumil-qiyamah (al-Qiyamah); (9) ‘Amma yatasa`alun (an-Naba`) dan al-Mursalat; (10) ad-Dukhan dan Idzas-syamsu kuwwwirat (at-Takwir). Masing-masing dari kedua surat tersebut dibaca dalam satu raka’at.[29]
Ini adalah sunnah bagi para shahibul-Qur`an yang sebagaimana Nabi saw singgung di atas al-Qur`an harus dibaca pada waktu shalat malam atau siang guna menjaga hafalannya. Tentu tidak berarti hanya pada shalat malam dan dluha saja, tetapi di semua shalat. Hanya untuk shalat malam dan atau dluha ada kekhususan diberlakukan hizb. Dengan cara seperti inilah perpaduan shalat dan al-Qur`an sebagai dzikir bagi hati akan terasa kedahsyatannya.
Wal-‘Llahu a’lam wa Huwal-Musta’an.
[1] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, ed., Aims and Objectives of Islam Education, terj. Samsudin Jaapar, Tujuan dan Objektif Pendidikan Islam, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992, hlm. xxi (pengenalan).
Wan Mohd. Nor Wan Daud menjelaskan bahwa pendidikan dewasa ini ada dua orientasi: Pertama, berorientasi kemasyarakatan dan bertujuan melahirkan warga negara dan rakyat yang baik. Pendidikan yang berorientasi kemasyarakatan akan memaksa peserta didik untuk mengikuti kemauan penguasa dan sistem yang berlaku di masyarakat, baik itu sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Kedua, berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan pada kebutuhan, daya tampung, dan minat pelajar. Terdapat dua model dari pendidikan yang berorientasi individu ini: (1) peserta didik diarahkan untuk meraih kebahagiaan duniawi dalam bentuk kemapanan sosial-ekonomi dan (2) peserta didik diarahkan untuk meningkatkan intelektual, kekayaan dan keseimbangan jiwanya sesuai dengan keunikan masing-masing (Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Kuala Lumpur: ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), 1998, hlm. 121-123).
Pendidikan Islam sudah barang tentu berorientasi individu untuk meningkatkan intelektual, kekayaan dan keseimbangan jiwa sesuai dengan keunikan masing-masing.
[2] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam and its Implication for Education in a Developing Country, terj. Munir, Konsep Pengetahuan dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1997, hlm.102-103.
[3] Keterkaitan orang beriman dengan al-Qur`an di antaranya tertuang dalam QS. an-Naml [27] : 1-3, al-Anfal [8] : 2-4; orang bertaqwa dengan al-Qur`an dalam QS. al-Baqarah [2] : 1-5; orang yang berbuat ihsan dengan al-Qur`an dalam QS. Luqman [31] : 1-5.
[4] QS. az-Zumar [39] : 23.
Makna mutasyabih, sebagaimana dijelaskan mufassir salaf, Qatadah, adalah “setiap ayat serupa dengan ayat lainnya”. Mufassir salaf lainnya, ‘Ikrimah dan al-Hasan menjelaskan: “Dalam satu surat ada ayat tertentu, dalam surat lainnya ada ayat yang semakna dengannya”. Maka ad-Dlahhak dan ‘Abdurrahman ibn Zaid ibn Aslam menyatakan pengertian matsani yang makna asalnya “dua” adalah “ayatnya selalu diulang-ulang”. Misalnya kisah Musa, Hud, Shalih ‘alaihimus-salam diulang-ulang dalam berbagai surat dan ayat al-Qur`an. Sa’id ibn Jubair juga mengutip pernyataan Ibn ‘Abbas: “al-Qur`an itu sebagian ayatnya serupa dengan ayat lainnya, dan sebagian ayatnya diulang-ulang pada surat lainnya.”
Makna lain dari mutasyabih dan matsani, dijelaskan oleh Sufyan ibn ‘Uyainah, yakni bahwa al-Qur`an mutasyabih, maksudnya makna satu ayat serupa dengan ayat lainnya dalam surat yang lain. Sementara al-Qur`an matsani, maksudnya makna satu ayat ada lawan dan tandingannya pada ayat lainnya. Jadi matsani yang makna asalnya “ada duanya” di sini dipahami sebagai ada tandingannya. Contohnya, setelah Allah swt menjelaskan orang-orang bertaqwa, Allah swt sering melanjutkannya dengan menjelaskan orang-orang durhaka. Ketika Allah swt menjelaskan orang-orang fujjar (para pendosa), Allah swt sertakan berikutnya dengan ayat-ayat tentang orang-orang abrar (para pembuat kebaikan). Demikian penjelasan al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab Tafsirnya.
[5] QS. Ali ‘Imran [3] : 79.
Ibn Manzhur menjelaskan, makna asal dari tadarus/dars/mudarasah adalah ‘menghapus’. Jika dikaitkan dengan al-Qur`an/kitab, maksudnya adalah sering membaca al-Qur`an sehingga tulisan al-Qur`an ‘terhapus’ dan beralih pada akal, hati dan amal. Jadi intinya tadarus/dars/mudarasah melibatkan dua amal sekaligus; membaca dan menghafal. Caranya dengan sering membaca, karena nantinya akan hafal dengan sendirinya.
دَرَسْتُ الْكِتَابَ أَدْرُسُه دَرْساً أَي ذَلَلْتُهُ بِكَثْرَةِ الْقِرَاءَةِ حَتَّى خَفَّ حِفْظُهُ عَلَيَّ
Darastu al-kitab adrusuhu-darsan: Aku menundukkannya dengan banyak membaca sampai ia ringan untuk aku hapal (Lisanul-‘Arab 6 : 79).
[6] Tafsir Ibn Katsir.
[7] QS. al-Baqarah [2] : 129, 151; Ali ‘Imran [3] : 164; al-Jumu’ah [62] : 2.
[8] Ihya` ‘Ulumid-Din 1 : 24.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Fathul-Bari bab kaifa kana bad’ul-wahyi ila Rasulillah.
[12] An-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, bab adabul-mu’allim.
[13] Ibn Taimiyyah, Majmû' Fatâwâ, jilid 23, hlm. 54-55.
[14] Shahih al-Bukhari kitab fadla`il al-Qur`an bab istidzkar al-Qur`an wa ta'ahudihi no. 5032.
[15] Fathul-Bari bab istidzkar al-Qur`an wa ta'ahudihi.
[16] Shahih al-Bukhari kitab fadla`ilil-Qur`an bab istidzkar al-Qur`an wa ta'ahudihi no. 5033.
[17] Fathul-Bari bab istidzkar al-Qur`an wa ta'ahudihi.
[18] Shahih al-Bukhari kitab fadla`il al-Qur`an bab istidzkar al-Qur`an wa ta'ahudihi no. 5031.
[19] Fathul-Bari bab istidzkar al-Qur`an wa ta'ahudihi.
[20] Shahih Muslim bab al-amr bi ta’ahhudil-Qur`an no. 1876.
[21] Shahih Muslim bab al-amr bi ta’ahhudil-Qur`an no. 1874.
[22] QS. Thaha [20] : 126.
[23] Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim bab al-amr bi ta’ahhudil-Qur`an.
[24] Shahih Muslim kitab shalatil-musafirin bab jami’ shalatil-lail wa man nama ‘anhu no. 1779; Sunan at-Tirmidzi abwab as-safar bab ma dzukira fi man fatahu hizbuhu minal-lail no. 581.
Maka dari itu ‘Aisyah menyatakan:
كَانَ r إِذَا فَاتَتْهُ الصَّلاَةُ مِنَ اللَّيْلِ مِنْ وَجَعٍ أَوْ غَيْرِهِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً
Rasulullah saw apabila luput darinya shalat malam karena sakit atau lainnya, beliau shalat pada siang hari 12 raka’at (Shahih Muslim kitab shalatil-musafirin bab jami’ shalatil-lail wa man nama ‘anhu no. 1777).
[25] Shahih Muslim bab an-nahy ‘an shaumid-dahr no. 2786.
[26] Ibid.
[27] Shahih al-Bukhari bab fi kam yuqra`ul-Qur`an no. 5052.
[28] Shahih al-Bukhari bab shaum yaum wa ifthar yaum no. 1978.
[29] Sunan Abi Dawud kitab syahri Ramadlan bab tahzibil-qur`an no. 1398. Al-Albani: Hadits shahih). Artinya kurang lebih 2 juz setiap malam (juz 28 dan 29 jika dijumlahkan ada 20 surat).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar