Oleh: Dr. Nashruddin Syarief, S.S., M.Pd.I.
Tahfizh al-Qur`an secara filosofis ataupun historis
merupakan basis dari pendidikan Islam. Secara filosofis pendidikan Islam fokus
mendidik jiwa dan hati agar seorang peserta didik menjadi “manusia beradab”
dalam konsep ta`dib, atau “manusia rabbani” dalam konsep tarbiyah.
Salah satu makanan pokok bagi hati itu sendiri adalah dzikir al-Qur`an. Dzikir
al-Qur`an caranya adalah melalui tahfizh al-Qur`an untuk kemudian diamalkan
sebagai bacaan dalam shalat. Maka dari itu mustahil pendidikan Islam melepaskan
diri dari tahfizh al-Qur`an. Secara historis, para ulama telah menjelaskan
bahwa tahfizh al-Qur`an ini harus jadi prioritas pendidikan atau pembelajaran
sebelum pendidikan ilmu-ilmu lainnya. Sebab al-Qur`an adalah sumber ajaran.
Memahami dan mengingatnya menjadi prasyarat mutlak agar para peserta didik
dalam pendidikan Islam bisa menjadikan al-Qur`an sebagai rujukan utama dalam
setiap aktivitas pendidikan yang dijalaninya.
Pertimbangan Filosofis
Pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk manusia
yang baik, bukan warga negara yang baik.[1] Manusia yang baik dalam Islam
adalah manusia yang baik secara akal dan jiwa. Bukan baik fisik dan akalnya
saja, tetapi jiwanya rusak. Dalam First World Conference on Islamic
Education pada tahun 1977 ditegaskan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam
adalah:
Pendidikan harus bertujuan pada
pertumbuhan kepribadian manusia yang utuh secara seimbang melalui latihan jiwa,
intelek dan rasio, perasaan dan indera-indera badan manusia. Latihan yang
diberikan kepada seorang Muslim yang harus menjadi keyakinan semacam itu
disuntikkan ke seluruh kepribadiannya dan menciptakan dalam dirinya kecintaan
emosional kepada Islam dan memungkinkannya mengikuti al-Qur`an dan sunnah dan
diatur oleh sistem nilai Islam secara ikhlas dan gembira sehingga ia dapat
menjalankan kesadaran statusnya sebagai khalifah Tuhan, yang kepadanya Tuhan
menjanjikan kekuasaan alam semesta; …Pendidikan harus menumbuhkan dalam diri
manusia gerak hati agar mengatur dirinya dan alam semesta sebagai hamba Tuhan
yang benar, bukan dengan menentang dan masuk dalam konflik terhadap alam,
tetapi dengan memahami hukum-hukumnya dan memandatkan keuasaan-kekuasaannya
bagi pertumbuhan suatu kepribadian yang berada dalam kerukunan dengannya.[2]
Al-Qur`an menyebut manusia yang baik itu dengan
berbagai sifat, yakni orang-orang yang beriman, bertaqwa, atau senantiasa ihsan
(berbuat baik). Dari kesemua sifat manusia yang baik itu selalu disebutkan
bahwa modalnya adalah penghayatan terhadap kitab suci al-Qur`an. Al-Qur`an
disebutkan oleh Allah swt sudah menjadi hudan bagi manusia-manusia
terbaik tersebut.[3]
Al-Qur`an dapat menjadi hudan bagi manusia
terbaik karena al-Qur`an sudah ditempatkan sebagai kitab yang mutasyabih (dipahami
keterkaitan antara ayat-ayatnya di berbagai surat yang berbeda) dan matsani (diulang-ulang
dibaca dan diketahui selalu ada padanan atau lawannya dalam ayat yang lain).[4]
Artinya al-Qur`an dipahami seluruh maknanya—meski tidak harus mendalam sedalam
pemahaman para ulama tafsir—dan senantiasa dibaca berulang-ulang dan
dihafalkan. Dengan memperlakukan al-Qur`an sebagaimana harusnya seperti itu,
maka al-Qur`an akan selalu mampu menggetarkan hati dan tubuh orang-orang
beriman, bertaqwa, atau senantiasa ihsan secara sekaligus, sehingga selalu
menjadi hudan bagi mereka.
Maka dari itu, sejak diutusnya para Nabi ‘alaihimus-salam,
Allah swt sudah memberikan ajaran kepada mereka agar mengajar umatnya untuk
menjadi manusia yang rabbani; dekat dan selalu mengabdi kepada Rabb,
dengan ciri utama mampu mengajar al-kitab dan men-dars-nya.
Tidak mungkin bagi seorang manusia yang Allah berikan
kepadanya Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah
kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi
(dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu
selalu mengajarkan Kitab dan disebabkan kamu tetap men-dars-nya.”[5]
Imam Ibn Katsir, mengutip penjelasan terkait ayat di
atas dari mufassir salaf, ad-Dlahhak, sebagai berikut:
وَقَالَ
الضَّحَّاكُ فِي قَوْلِهِ: {بما كنتم تعلمون الكتاب} حَقٌّ عَلَى مَنْ تَعَلَّمَ
الْقُرْآنَ أَنْ يَكُوْنَ فَقِيْهًا {وبما كنتم تدرسون} تَحْفَظُوْنَ أَلْفَاظَهُ
Ad-Dlahhak berkata tentang firman Allah {karena
kamu selalu mengajarkan Kitab}: “Sebuah kemestian bagi yang belajar
al-Qur`an untuk menjadi faqih/orang yang faham.” {disebabkan kamu tetap
men-dars-nya} maksudnya “menghafalkan lafazh-lafazhnya”.[6]
Dari ayat di atas, beserta penjelasan dari ad-Dlahhak,
diketahui bahwa dars/tadarus ini merupakan ajaran semua Nabi as kepada
umatnya. Semua Nabi as pasti mengajarkan umatnya untuk menjadi rabbani; manusia
yang mematuhi aturan Rabb/Allah swt. Amal yang harus dilakukan agar menjadi rabbani
adalah belajar dan mengajar al-Qur`an, juga menghafal ayat-ayatnya. Artinya
dari sejak era para Nabi as sebelum Nabi Muhammad saw pun, tahfizh al-Qur`an
ini sudah menjadi salah satu kurikulum penting dalam pendidikan Islam.
Maka dari itu misi utama kenabian yang dijelaskan
dalam berbagai ayat selalu mengawalinya dengan tilawah (membacakan
ayat-ayat Allah), lalu tazkiyah (mensucikan jiwa), dan
baru kemudian ta’lim (mengajari ilmu).[7] Penanaman tilawah dan
tazkiyah memang harus didahulukan, sebab memang ilmu-ilmu Allah swt
hanya cocok dimiliki oleh orang-orang yang hatinya sudah suci. Pensucian hati
itu sendiri dimulai dengan tilawah ayat-ayat al-Qur`an. Batasan ideal
dari tilawah al-Qur`an itu sendiri adalah membaca melalui hafalan yang
bersumber dari hati.
Imam al-Ghazali dalam hal ini mengkritik keras para
pengkaji ilmu agama yang mengabaikan aspek pengayaan jiwa. Dalam kitabnya, Ihya`
‘Ulumid-Din, Imam al-Ghazali menyoroti secara khusus kekeliruan tokoh-tokoh
agama yang mengikuti madzhab fiqih seorang ulama madzhab hanya dalam aspek
fiqihnya semata, dengan mengabaikan aspek muraqabah (merasa diperhatikan
Allah)-nya. Uraian ini menjadi sangat penting, karena menurutnya, banyak sekali
yang kemudian mempelajari satu madzhab ulama besar dan mengklaim dirinya bagian
dari madzhab tersebut, tetapi secara akhlaq jauh dari apa yang sudah digariskan
oleh para ulama madzhabnya.
Dalam konteks pendidikan modern saat ini, peringatan
dari Imam al-Ghazali seperti akan diuraikan di bawah menjadi sangat relevan,
mengingat hari ini pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi Islam didirikan
dengan tujuan utama mencetak mutafaqqih fid-din; lulusan-lulusan yang
menguasai ilmu agama dari aspek fiqih atau kognitifnya. Tidak ada yang salah
dari tujuan tersebut sepanjang aspek ruhiahnya juga tidak diabaikan. Sebab
hakikat tujuan pendidikan Islam itu adalah mencetak “manusia beradab” dalam
konsep ta`dib, atau “manusia rabbani” dalam konsep tarbiyah. Letak
intinya di qalb-nya; hati, jiwa, ruh, akhlaq yang diselimuti oleh adab
atau nilai-nilai rabbaniyyah.
Dalam bab al-‘ilmil-lladzi huwa fardlu kifayah, Imam
al-Ghazali menulis:
سَنَنْقُلُ
مِنْ سِيْرَةِ فُقَهَاءِ السَّلَفِ مَا تَعْلَمُ بِهِ أَنَّ الَّذِيْنَ
انْتَحَلُوْا مَذَاهِبَهُمْ ظَلَمُوْهُمْ وَأَنَّهُمْ مِنْ أَشَدِّ خُصَمَائِهِمْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَإِنَّهُمْ مَا قَصَدُوا بْالْعِلْمِ إِلاَّ وَجْهَ اللهِ
تعالى وَقَدْ شُوْهِدَ مِنْ أَحْوَالِهِمْ مَا هُوَ مِنْ عَلاَمَاتِ عُلَمَاءِ
الْآخِرَةِ... فَإِنَّهُمْ مَا كَانُوْا مُتَجَرَّدِيْنَ لِعِلْمِ الْفِقْهِ بَلْ
كَانُوْا مُشْتَغِلِّيْنَ بِعِلْمِ الْقُلُوْبِ وَمُرَاقَبِيْنَ لَهَا
Kita akan kutip sedikit riwayat hidup
para fuqaha salaf yang anda akan tahu sendiri bahwa orang-orang yang mengaku
sebagai bagian dari madzhab mereka banyak yang justru menzhalimi mereka, dan
bahkan mereka akan menjadi musuh paling keras para fuqaha salaf tersebut pada
hari kiamat nanti. Sebab para fuqaha salaf tidak memiliki niatan lain selain
wajah Allah ta’ala, dan itu akan tersaksikan dari kehidupan mereka yang penuh
dengan tanda-tanda ulama akhirat... Salah satunya, mereka tidak hanya
memperdalam ilmu fiqih, tetapi mereka juga menyibukkan diri memperdalam ilmu
hati dan muraqabah dalam hal itu.[8]
Imam al-Ghazali menyebutkan salah satu contohnya, Imam
as-Syafi’i, fuqaha salaf yang dijadikan rujukan madzhab olehnya. Beliau
menjelaskan:
أَمَّا
الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ رحمه الله تعالى فَيَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ كَانَ عَابِداً
مَا رُوِيَ أَنَّهُ كَانَ يَقْسِمُ اللَّيْلَ ثَلاَثَةَ أَجْزَاءٍ: ثُلُثًا
لِلْعِلْمِ، وَثُلُثاً لِلْعِبَادَةِ. وَثُلُثاً لِلنَّوْمِ. قَالَ الرَّبِيْعُ:
كَانَ الشَّافِعِيُّ رحمه الله يَخْتِمُ الْقُرْآنَ فِي رَمَضَانَ سِتِّيْنَ
مَرَّةً كُلُّ ذَلِكَ فِي الصَّلاَةِ. وَقَالَ الْحَسَنُ الْكَرَابِيْسِي: بِتُّ
مَعَ الشَّافِعِيِّ غَيْرَ لَيْلَةٍ فَكَانَ يُصَلِّي نَحْواً مِنْ ثُلُثِ
اللَّيْلِ فَمَا رَأَيْتُهُ يَزِيْدُ عَلَى خَمْسِيْنَ آيَةً، فَإِذَا أَكْثَرَ
فَمِائَةُ آيَةٍ، وَكَانَ لاَ يَمُرُّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ إِلاَّ سَأَلَ اللهَ
لِنَفْسِهِ وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُؤْمِنِيْنَ، وَلاَ يَمُرُّ
بِآيَةِ عَذَابٍ إِلاَّ تَعَوَّذَ فِيْهَا وَسَأَلَ النَّجَاةَ لِنَفْسِهِ
وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ
Imam as-Syafi’i rahimahul-‘Llah, yang
menunjukkan bahwa beliau seorang ‘abid (ahli ibadah) adalah riwayat tentang
beliau selalu membagi malam menjadi tiga bagian: sepertiga pertama untuk ilmu,
sepertiga kedua untuk ibadah, dan sepertiga ketiga untuk tidur. Ar-Rabi’
berkata: Imam as-Syafi’i rahimahul-‘Llah khatam al-Qur`an di bulan Ramadlan 60
kali, semuanya dibaca dalam shalat. Al-Hasan al-Kurabisi berkata: Aku bermalam
bersama Imam as-Syafi’i bukan hanya satu malam (melainkan pernah lama atau
cukup sering). Beliau shalat malam kurang lebih sepertiga malam. Aku jarang
sekali melihatnya melebihkan bacaan dari 50 ayat. Kalaupun ada yang lebih
panjang paling sekitar 100 ayat. Beliau tidak berkesempatan membaca ayat
tentang rahmat Allah melainkan beliau berhenti dulu dan memohon terlebih dahulu
rahmat kepada Allah untuk dirinya dan semua kaum muslimin. Tidak juga
berkesempatan membaca ayat tentang siksa Allah melainkan beliau berhenti dulu
dan memohon perlindungan terlebih dahulu seraya memohon keselamatan untuk dirinya
dan semua kaum mukminin.[9]
Imam al-Ghazali kemudian menyimpulkan:
وَلَمْ
يَسْتَفِدِ الشَّافِعِيُّ رحمه الله هَذَا الْخَوْفَ وَالزُّهْدَ مِنْ عِلْمِ
كِتَابِ السُّلَّمِ وَالْإِجَارَةِ وَسَائِرِ كُتُبِ الْفِقْهِ، بَلْ هُوَ مِنْ
عُلُوْمِ الْآخِرَةِ الْمُسْتَخْرَجَةِ مِنَ الْقُرْآنِ وَالْأَخْبَارِ
Imam as-Syafi’i rahimahul-‘Llah tidak
mengambil nilai-nilai khauf dan zuhud seperti itu dari ilmu kitab as-Sullam,
al-Ijarah, dan kitab-kitab fiqih lainnya, melainkan dari ilmu-ilmu akhirat yang
digali dari al-Qur`an dan akhbar.[10]
Uraian al-Ghazali di atas menyingkap rahasia mengapa
para ulama menekankan pentingnya hafalan al-Qur`an sebelum mempelajari
ilmu-ilmu agama lainnya. Sebab inti dari pendidikan Islam itu ada di ilmu-ilmu
hati. Inti dari ilmu hati itu adalah shalat dan bacaan al-Qur`an di dalamnya,
khususnya dalam shalat malam.
Terkait hal ini, al-Qur`an sudah mengingatkan dalam
surat al-Muzzammil bahwa bacaan al-Qur`an secara tartil dalam shalat malam
adalah yang paling membekas dalam hati (asyaddu wath’an wa aqwamu qilan).
Di waktu siang susah untuk mencapai kondisi hati yang ideal seperti itu
karena terlampau banyak kesibukan duniawi. Maka memasukkan “ilmu hati” lewat
tartil al-Qur`an seperti diperintahkan ayat-ayat awal surat al-Muzzammil
tersebut akan sangat bergantung pada hafalan al-Qur`an.
Hadits Ibn ‘Abbas tentang tadarus al-Qur`an juga
memberikan tuntunan yang gamblang betapa erat kaitannya pendidikan hati dengan
tadarus (evaluasi hafalan) al-Qur`an. Nabi saw sebagai orang yang paling
dermawan, setiap kali selesai tadarus al-Qur`an dengan Jibril di malam harinya,
keesokan harinya selalu menjadi lebih dermawan kembali. al-Hafizh dalam hal ini
menegaskan: “Karena mudarasah al-Qur`an akan senantiasa memperbarui
perjanjian primordial (ajaran yang bersemayam di hati) dengan bertambahnya kaya
hati, dan kekayaan yang ini menjadi sebab adanya kedermawanan.”[11]
Fakta Historis
Sebagaimana sudah disinggung di atas, para Nabi ‘alaihimus-salam
dari sejak lama selalu mengajarkan agar umatnya menjadi manusia rabbani;
dekat dan selalu mengabdi kepada Rabb, yang cirinya mampu mengajar al-kitab
dan men-dars-nya. Mengajar kitab artinya memahami dan sudah
mengamalkannya. Sementara dars artinya menghafal ayat-ayatnya. Artinya
dari sejak awal era para Nabi as sebelum Nabi Muhammad saw sudah diajarkan
bahwa tahfizh kitab suci itu salah satu materi penting pendidikan untuk
membentuk manusia rabbani.
Berkaitan dengan hal itu, Imam an-Nawawi dalam muqaddimah
kitab al-Majmu’ menjelaskan sebagai berikut:
وَيَنْبَغِي
أَنْ يَبْدَأَ مِنْ دُرُوْسِهِ عَلَى الْمَشَايِخِ وَفِي الْحِفْظِ وَالتِّكْرَارِ
وَالْمُطَالَعَةِ بِالْأَهَمِّ فَالْأَهَمِّ: وَأَوَّلُ مَا يَبْتَدِئُ بِهِ
حِفْظُ الْقُرْآنِ الْعَزِيْزِ فَهُوَ أَهَمُّ الْعُلُوْمِ وَكَانَ السَّلَفُ لاَ
يُعَلِّمُوْنَ الْحَدِيْثَ وَالْفِقْهَ إِلاَّ لِمَنْ حَفِظَ الْقُرْآنَ وَإِذَا
حَفِظَهُ فَلْيَحْذَرْ مِنَ الْاِشْتِغَالِ عَنْهُ بِالْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ
وَغَيْرِهِمَا اشْتِغَالاً يُؤَدِّي إِلَى نِسْيَانِ شَيْءٍ مِنْهُ أَوْ
تَعْرِيْضِهِ لِلنِّسْيَانِ. وَبَعْدَ حِفْظِ الْقُرْآنِ يَحْفَظُ مِنْ كُلِّ
فَنٍّ مُخْتَصَرًا وَيَبْدَأُ بِالْأَهَمِّ وَمِنْ أَهَمِّهَا الْفِقْهُ
وَالنَّحْوُ ثُمَّ الْحَدِيْثُ وَالْأُصُوْلُ ثُمَّ الْبَاقِي عَلَى مَا تَيَسَّرَ
Sudah semestinya seseorang mengawali
belajarnya kepada para syaikh, termasuk dalam hal hafalan dan kajian, dengan
yang paling penting lalu yang penting berikutnya. Hal pertama yang harus
dipelajari adalah menghafal al-Qur`an al-‘Aziz. Itu adalah ilmu yang paling
penting. Para ulama salaf tidak mengajarkan hadits dan fiqih kecuali kepada
orang yang sudah hafal al-Qur`an. Jika seseorang sudah hafal al-Qur`an
waspadalah dari tersibukkan oleh hadits, fiqih, atau lainnya yang
menyebabkannya lupa dari hafalannya atau sebatas mengganggu hafalannya. Setelah
hafal al-Qur`an, baru seseorang menghafal ilmu lainnya mulai dari yang
mukhtashar (ringkasan). Mulai dari yang paling penting, yaitu fiqih, nahwu,
hadits, ushul, kemudian ilmu lainnya yang mudah baginya.[12]
Penjelasan yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh
Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah:
وَأَمَّا
طَلَبُ حِفْظِ الْقُرْآنِ فَهُوَ مُقَدَّمٌ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّا تُسَمِّيهِ
النَّاسُ عِلْمًا. وَهُوَ إمَّا بَاطِلٌ أَوْ قَلِيلُ النَّفْعِ. وَهُوَ أَيْضًا
مُقَدَّمٌ فِي التَّعَلُّمِ فِي حَقِّ مَنْ يُرِيدُ أَنْ يَتَعَلَّمَ عِلْمَ
الدِّينِ مِنْ الْأُصُولِ وَالْفُرُوعِ فَإِنَّ الْمَشْرُوعَ فِي حَقِّ مِثْلِ
هَذَا فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ أَنْ يَبْدَأَ بِحِفْظِ الْقُرْآنِ فَإِنَّهُ
أَصْلُ عُلُومِ الدِّينِ... وَالْمَطْلُوبُ مِنْ الْقُرْآنِ هُوَ فَهْمُ
مَعَانِيهِ وَالْعَمَلُ بِهِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ هَذِهِ هِمَّةَ حَافِظِهِ لَمْ
يَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالدِّينِ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ أَعْلَمُ
Adapun menghafal al-Qur`an maka itu
harus diprioritaskan daripada ilmu lain yang dikenal oleh manusia, entah itu
ilmu yang batil ataupun yang sedikit manfaatnya. Ia juga harus diprioritaskan
daripada mempelajari ilmu-ilmu agama baik yang ushûl-nya atau cabang-cabangnya.
Karena sesungguhnya yang disyari'atkan sebagai kewajiban dalam hal ini, pada
waktu-waktu ini, adalah mulai dengan menghafal al-Qur`an, karena itu merupakan
ashal dari ilmu-ilmu agama... Di samping itu, sudah barang tentu yang dituntut
dari al-Qur`an adalah memahami maknanya dan mengamalkannya. Jika bukan ini yang
menjadi motif dari sang penghafal al-Qur`an, maka tentu ia tidak termasuk ahli
ilmu dan agama. Allah Subahanahu lebih mengetahui.[13]
Titik tekan tahfizh yang dijelaskan Ibn
Taimiyyah di atas tentu bukan sebatas menghafalnya, melainkan juga dengan
memahami dan menghayati makna-maknanya, di samping tentu mengamalkannya. Sebab tahfizh
al-Qur`an masuk kategori dzikr bukan dalam hal sebatas
mengulang-ulangnya saja, tetapi juga menghayati kandungannya.
Panduan Tahfizh
Nabi saw memerintahkan agar tahfizh al-Qur`an
diamalkan dengan cara merutinkan membacanya (muraja’ah) sepanjang hayat
dikandung badan. Jangan putus asa karena mudah lupa lagi, sebab itu sudah
menjadi bagian mu’jizat al-Qur`an, agar al-Qur`an terus dibaca dan dihafal di
sepanjang hayat.
Cara muraja’ah yang diperintahkan oleh Nabi saw
adalah dengan membacanya dalam shalat; baik shalat siang ataupun shalat malam.
Di samping itu diberlakukan hizb (agenda rutin) khusus dalam shalat
tahajjud dan dluha.
Perintah Nabi saw untuk menghafal al-Qur`an sepanjang
hayat tanpa putus asa karena mudah lupa adalah sebagai berikut:
بِئْسَ مَا
لأَحَدِهِمْ أَنْ يَقُولَ نَسِيتُ آيَةَ كَيْتَ وَكَيْتَ بَلْ نُسِّىَ،
وَاسْتَذْكِرُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ أَشَدُّ تَفَصِّيًا مِنْ صُدُورِ الرِّجَالِ
مِنَ النَّعَمِ
Alangkah jeleknya seseorang di antara
kamu yang berkata: “Aku lupa sejumlah ayat ini dan itu,” karena yang benar ia
dijadikan lupa. Maka dari itu hafalkanlah al-Qur`an, karena sesungguhnya dia
lebih mudah terlepas dari ingatan seseorang daripada terlepasnya unta.[14]
Hadits ini menekankan wajibnya menghafal al-Qur`an
sehingga al-Qur`an tidak mudah lepas dari ingatan. Menghafal yang dimaksud
adalah menghafal sepanjang hayat, tanpa ada putus asanya. Orang yang berhenti
menghafal karena putus asa tidak kunjung hafal, itulah yang disebut orang jelek
oleh Nabi saw di atas. al-Qur`an tidak kunjung hafal karena memang menghafalnya
dengan putus asa. Semestinya terus menghafal sepanjang hayat tanpa ada putus
asa, niscaya hafalan al-Qur`an tidak akan ada yang lupa.
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan makna istadzkiru dalam
hadits di atas sebagai berikut:
وَاظِبُوا
عَلَى تِلاَوَتِهِ وَاطْلُبُوا مِنْ أَنْفُسكُمْ الْمُذَاكَرَة بِهِ
Rutinkanlah membacanya dan tuntutlah
diri kalian untuk mengingat-ingatnya.[15]
Dengan kata lain, hafalkanlah al-Qur`an dengan rutin.
Kalau tidak dihafal dengan rutin, maka seseorang selamanya tidak akan mampu
mengingat al-Qur`an sebab al-Qur`an akan selalu mudah lepas dari ingatan. Jadi
tidak benar jika alasan tidak menghafal al-Qur`an karena sering cepat lupanya.
Justru karena mudah lupa, al-Qur`an jadi harus lebih sering dihafal.
Dalam hadits lain Nabi saw memerintahkan:
تَعَاهَدُوا
الْقُرْآنَ فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَصِّيًا مِنَ الإِبِلِ
فِى عُقُلِهَا
Jagalah hafalan al-Qur`an, karena
sesungguhnya dia lebih mudah terlepas dari ingatan seseorang daripada
terlepasnya unta dari ikatannya.[16]
Maksud dari ta’ahadu dalam hadits di atas
menurut al-Hafizh Ibn Hajar adalah:
تَجْدِيدُ
الْعَهْدِ بِهِ بِمُلاَزَمَةِ تِلاَوَتِهِ
Terus-terusan memperbarui hafalan
al-Qur`an dengan merutinkan membaca.
[17]
Sama seperti hadits sebelumnya, perintah menghafal
al-Qur`an ini penting karena al-Qur`an mudah lepas dari ingatan. Maka dari itu
harus terus-terusan diulang dan diulang lagi. Jangan malah dibiarkan tanpa
diulang-ulang. Jadinya akan lepas lagi dari ingatan, bahkan lepas
selama-lamanya.
Dalam riwayat lain, masih dari Shahih al-Bukhari, Nabi
saw menjelaskan maksud perserupaan menghafal al-Qur`an dengan mengikat unta
sebagai berikut:
إِنَّمَا
مَثَلُ صَاحِبِ الْقُرْآنِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الإِبِلِ الْمُعَقَّلَةِ إِنْ عَاهَدَ
عَلَيْهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ أَطْلَقَهَا ذَهَبَتْ
Sesungguhnya perumpamaan seseorang yang
mempelajari al-Qur`an seperti seorang pemilik unta yang diikat. Jika ia terus
menjaga ikatannya, ia bisa terus menahannya. Tetapi jika ia melepaskan
ikatannya, maka unta itu akan terlepas.[18]
Maksud dari “melepaskan ikatan” yakni seorang
pengkaji al-Qur`an yang tidak rutin lagi menghafal al-Qur`an. Sebab dalam
hadits di atas, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, Nabi saw menyamakan mempelajari
dan merutinkan membaca al-Qur`an dengan mengikat unta. Maka maksud “melepaskan
ikatan” dalam konteks al-Qur`an itu adalah tidak lagi mempelajari dan
merutinkan membaca al-Qur`an. Konsekuensinya, hafalan al-Qur`an pun akan
terlepas kembali seperti halnya unta. Jika demikian, maka itulah yang dikritik
pedas oleh Nabi saw dalam hadits di awal.
Nabi saw menyamakan hafalan al-Qur`an dengan unta,
menurut Ibn Hajar, karena memang unta adalah hewan jinak yang paling mudah
kabur. Jadi artinya Nabi saw menggambarkan bahwa hafalan al-Qur`an itu mudah
kaburnya, maka dari itu harus dirutinkan. Jika tidak rutin, hafalan al-Qur`an
otomatis akan hilang.
فَمَا
زَالَ التَّعَاهُدُ مَوْجُودًا فَالْحِفْظُ مَوْجُودٌ، كَمَا أَنَّ الْبَعِيرَ مَا
دَامَ مَشْدُودًا بِالْعِقَالِ فَهُوَ مَحْفُوظٌ
Selama rutinitas menghafal ada, maka
hafalan pun akan selalu ada. Sebagaimana halnya seekor unta, selama ia diikat
maka ia tidak akan lepas.[19]
Cara menghafal al-Qur`an yang dimaksud adalah dengan
melakukan muraja’ah (mengulang-ulang) pada shalat, baik shalat malam
atau siang. Jika seseorang berstatus ma`mum, maka muraja’ah pada shalat
siang bisa diamalkan pada shalat-shalat yang sir atau shalat sunat.
Hadits di atas, dalam sanad yang lain menyebutkan sabda Nabi saw sebagai
berikut:
وَإِذَا
قَامَ صَاحِبُ الْقُرْآنِ فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِذَا
لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ
Apabila penghafal al-Qur`an itu qiyam
(shalat) dan membacanya di waktu (shalat) malam dan siang, maka ia akan
mengingatnya. Jika ia tidak shalat dengannya, ia akan melupakannya.[20]
Maksud “shahibul-Qur`an”, menurut Imam
an-Nawawi, adalah seseorang yang alifahu; sudah lembut menyertai
al-Qur`an atau mampu menjinakkan al-Qur`an. Caranya adalah selalu menjadi
sahabat atau menyertai al-Qur`an. Jadi ia tidak pernah jauh dari al-Qur`an;
selalu membacanya dan mengulang-ulang hafalannya.
Fakta bahwa al-Qur`an mudah lepas dari ingatan jika
tidak dihafal sepanjang hayat, adalah pengakuan Nabi saw sendiri:
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِىُّ r يَسْتَمِعُ قِرَاءَةَ رَجُلٍ فِى
الْمَسْجِدِ. فَقَالَ رَحِمَهُ اللهُ لَقَدْ أَذْكَرَنِى آيَةً كُنْتُ
أُنْسِيتُهَا
Dari ‘Aisyah, ia berkata: Nabi saw pernah sengaja
menyimak bacaan seseorang di masjid. Beliau lalu bersabda: “Semoga Allah
merahmatinya. Sungguh ia telah mengingatkanku satu ayat yang aku dijadikan lupa
atasnya.”[21]
Tetapi Imam an-Nawawi menegaskan bahwa lupanya Nabi
saw di atas itu adalah lupa manusiawi pada saat bukan tabligh (menyampaikan
ajaran). Sebab pada saat tabligh, Nabi saw dijamin tidak lupa
satu huruf sekalipun (QS. al-Qiyamah [75] : 16-19). Adanya kemungkinan lupa
secara manusiawi inilah yang menyebabkan Nabi saw mencontohkan dan
memerintahkan umatnya untuk selalu menghafal al-Qur`an sepanjang hayat. Salah
satu caranya adalah dengan menyengajakan diri menyimak bacaan al-Qur`an orang
lain seperti Nabi saw contohkan di atas.
Saking harusnya menghafal al-Qur`an, Imam an-Nawawi
sampai mengaitkan kemalasan orang-orang menghafal al-Qur`an dengan ayat
berikut:
Allah berfirman: "Demikianlah (kamu buta
karena), telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan
begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan".[22]
Imam an-Nawawi menjelaskan, yang termasuk lupa dalam
ayat di atas adalah orang yang pernah menghafal al-Qur`an, lalu ia lalai,
sehingga melupakan ayat-ayatnya lagi.[23]
Perintah Nabi saw secara khusus untuk memberlakukan hizb
(agenda rutin) hafalan al-Qur`an dalam shalat malam dan dluha adalah
sebagai berikut:
مَنْ نَامَ
عَنْ حِزْبِهِ أَوْ عَنْ شَىْءٍ مِنْهُ فَقَرَأَهُ فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ
الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الظُّهْرِ كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنَ اللَّيْلِ
Siapa yang tertidur dari hizb (rutinitas
bacaan al-Qur`an)-nya atau dari sedikit hizbnya, lalu ia membacanya antara
shalat shubuh dan zhuhur (yakni dluha), akan dicatat pahalanya sebagaimana
halnya ia membaca di malam hari.[24]
Dalam hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr, Nabi saw
memerintahkan agar di setiap malam al-Qur`an minimalnya dibaca 1 juz dalam
shalat. Maksimalnya sampai 10 juz setiap malam. Ini disampaikan kepada
‘Abdullah ibn ‘Amr setelah Nabi saw mendapatkan informasi bahwa ia biasa shaum
setiap hari dan membaca al-Qur`an dalam shalat malam 30 juz sepanjang malam:
أُخْبِرَ
رَسُولُ اللهِ r أَنَّهُ يَقُولُ لأَقُومَنَّ اللَّيْلَ
وَلأَصُومَنَّ النَّهَارَ مَا عِشْتُ
Diberitahukan kepada Rasulullah saw
bahwasanya ia berkata: ‘Aku akan shalat sepanjang malam dan shaum siang hari
selama aku hidup’.[25]
Maka Nabi saw menginterogasi Ibn ‘Amr:
أَلَمْ
أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ الدَّهْرَ وَتَقْرَأُ الْقُرْآنَ كُلَّ لَيْلَةٍ
Benarkah saya diberitahu bahwa kamu
shaum sepanjang tahun dan membaca al-Qur`an (dalam shalat) setiap malam?[26]
Dalam sanad Mujahid, Nabi saw menginterogasi Ibn ‘Amr
sebagai berikut:
فَقَالَ
كَيْفَ تَصُومُ قَالَ كُلَّ يَوْمٍ قَالَ وَكَيْفَ تَخْتِمُ قَالَ كُلَّ لَيْلَةٍ
Nabi saw bertanya: “Bagaimana kamu shaum?” Ibn
‘Amr menjawab: “Setiap hari.” Beliau bertanya: “Bagaimana kamu khatam
(dalam shalat)?” Ibn ‘Amr menjawab: “Setiap malam.” [27]
Nabi saw kemudian berturut-turut menganjurkan agar
shaum 1 hari, 2 hari, 3 hari atau sampai 15 hari di setiap bulan, yakni shaum
Dawud; shaum satu hari, buka satu hari. Sementara untuk bacaan al-Qur`an dalam
shalat malam, Nabi saw memerintahkan:
اقْرَإِ
الْقُرْآنَ فِي كُلِّ شَهْرٍ قَالَ إِنِّي أُطِيقُ أَكْثَرَ فَمَا زَالَ حَتَّى
قَالَ فِي ثَلَاثٍ
“Bacalah al-Qur`an (ketika shalat malam)
dalam setiap bulan (1 malam 1 juz).” Ibn ‘Amr berkata: “Saya kuat lebih dari
itu.” Maka terus-terusan Nabi saw menguranginya (dari 20 malam, 10 malam, 7
malam) sampai beliau bersabda: “Maksimal dalam tiga malam (1 malam 10 juz).”[28]
Nabi saw sendiri mencontohkan 20 surat dalam 10
raka’at. Di antara yang sering beliau baca adalah: (1) ar-Rahman dan an-Najm;
(2) Iqtarabat (al-Qamar) dan al-Haqqah; (3) at-Thur dan adz-Dzariyat; (4) Idza
waqa’at (al-Waqi’ah) dan Nun (al-Qalam); (5) Sa`ala sa`ilun (al-Ma’arij) dan
an-Nazi’at; (6) Wailul-lil-muthaffifin dan ‘Abasa; (7) al-Muddatstsir dan
al-Muzzammil; (8) Hal ata (al-Insan) dan La uqsimu bi yaumil-qiyamah
(al-Qiyamah); (9) ‘Amma yatasa`alun (an-Naba`) dan al-Mursalat; (10) ad-Dukhan
dan Idzas-syamsu kuwwwirat (at-Takwir). Masing-masing dari kedua surat tersebut
dibaca dalam satu raka’at.[29]
Ini adalah sunnah bagi para shahibul-Qur`an yang
sebagaimana Nabi saw singgung di atas al-Qur`an harus dibaca pada waktu shalat
malam atau siang guna menjaga hafalannya. Tentu tidak berarti hanya pada shalat
malam dan dluha saja, tetapi di semua shalat. Hanya untuk shalat malam dan atau
dluha ada kekhususan diberlakukan hizb. Dengan cara seperti inilah
perpaduan shalat dan al-Qur`an sebagai dzikir bagi hati akan terasa
kedahsyatannya.
Wal-‘Llahu a’lam wa Huwal-Musta’an.
[1] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, ed., Aims and
Objectives of Islam Education, terj. Samsudin Jaapar, Tujuan dan
Objektif Pendidikan Islam, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992,
hlm. xxi (pengenalan).
Wan Mohd. Nor Wan Daud menjelaskan bahwa pendidikan
dewasa ini ada dua orientasi: Pertama, berorientasi kemasyarakatan dan
bertujuan melahirkan warga negara dan rakyat yang baik. Pendidikan yang
berorientasi kemasyarakatan akan memaksa peserta didik untuk mengikuti kemauan
penguasa dan sistem yang berlaku di masyarakat, baik itu sistem pemerintahan
demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Kedua, berorientasi kepada
individu, yang lebih memfokuskan pada kebutuhan, daya tampung, dan minat
pelajar. Terdapat dua model dari pendidikan yang berorientasi individu ini: (1)
peserta didik diarahkan untuk meraih kebahagiaan duniawi dalam bentuk kemapanan
sosial-ekonomi dan (2) peserta didik diarahkan untuk meningkatkan intelektual,
kekayaan dan keseimbangan jiwanya sesuai dengan keunikan masing-masing (Wan
Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, Kuala Lumpur: ISTAC (International Institute of Islamic
Thought and Civilization), 1998, hlm. 121-123).
Pendidikan Islam sudah barang tentu berorientasi
individu untuk meningkatkan intelektual, kekayaan dan keseimbangan jiwa sesuai
dengan keunikan masing-masing.
[2] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge
in Islam and its Implication for Education in a Developing Country, terj.
Munir, Konsep Pengetahuan dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1997,
hlm.102-103.
[3] Keterkaitan orang beriman dengan al-Qur`an di
antaranya tertuang dalam QS. an-Naml [27] : 1-3, al-Anfal [8] : 2-4; orang
bertaqwa dengan al-Qur`an dalam QS. al-Baqarah [2] : 1-5; orang yang berbuat
ihsan dengan al-Qur`an dalam QS. Luqman [31] : 1-5.
[4] QS. az-Zumar [39] : 23.
Makna mutasyabih, sebagaimana dijelaskan
mufassir salaf, Qatadah, adalah “setiap ayat serupa dengan ayat lainnya”.
Mufassir salaf lainnya, ‘Ikrimah dan al-Hasan menjelaskan: “Dalam satu surat
ada ayat tertentu, dalam surat lainnya ada ayat yang semakna dengannya”. Maka
ad-Dlahhak dan ‘Abdurrahman ibn Zaid ibn Aslam menyatakan pengertian matsani
yang makna asalnya “dua” adalah “ayatnya selalu diulang-ulang”. Misalnya
kisah Musa, Hud, Shalih ‘alaihimus-salam diulang-ulang dalam berbagai
surat dan ayat al-Qur`an. Sa’id ibn Jubair juga mengutip pernyataan Ibn ‘Abbas:
“al-Qur`an itu sebagian ayatnya serupa dengan ayat lainnya, dan sebagian
ayatnya diulang-ulang pada surat lainnya.”
Makna lain dari mutasyabih dan matsani, dijelaskan
oleh Sufyan ibn ‘Uyainah, yakni bahwa al-Qur`an mutasyabih, maksudnya
makna satu ayat serupa dengan ayat lainnya dalam surat yang lain. Sementara
al-Qur`an matsani, maksudnya makna satu ayat ada lawan dan tandingannya
pada ayat lainnya. Jadi matsani yang makna asalnya “ada duanya” di sini
dipahami sebagai ada tandingannya. Contohnya, setelah Allah swt menjelaskan
orang-orang bertaqwa, Allah swt sering melanjutkannya dengan menjelaskan
orang-orang durhaka. Ketika Allah swt menjelaskan orang-orang fujjar (para
pendosa), Allah swt sertakan berikutnya dengan ayat-ayat tentang orang-orang abrar
(para pembuat kebaikan). Demikian penjelasan al-Hafizh Ibn Katsir dalam
kitab Tafsirnya.
[5] QS. Ali ‘Imran [3] : 79.
Ibn Manzhur menjelaskan, makna asal dari tadarus/dars/mudarasah
adalah ‘menghapus’. Jika dikaitkan dengan al-Qur`an/kitab, maksudnya adalah
sering membaca al-Qur`an sehingga tulisan al-Qur`an ‘terhapus’ dan beralih pada
akal, hati dan amal. Jadi intinya tadarus/dars/mudarasah melibatkan dua
amal sekaligus; membaca dan menghafal. Caranya dengan sering membaca, karena
nantinya akan hafal dengan sendirinya.
دَرَسْتُ
الْكِتَابَ أَدْرُسُه دَرْساً أَي ذَلَلْتُهُ بِكَثْرَةِ الْقِرَاءَةِ حَتَّى
خَفَّ حِفْظُهُ عَلَيَّ
Darastu al-kitab adrusuhu-darsan: Aku menundukkannya
dengan banyak membaca sampai ia ringan untuk aku hapal (Lisanul-‘Arab 6 :
79).
[6] Tafsir Ibn Katsir.
[7] QS. al-Baqarah [2] : 129, 151; Ali ‘Imran [3] :
164; al-Jumu’ah [62] : 2.
[8] Ihya` ‘Ulumid-Din 1 : 24.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Fathul-Bari bab kaifa kana bad’ul-wahyi ila
Rasulillah.
[12] An-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, bab
adabul-mu’allim.
[13] Ibn Taimiyyah, Majmû' Fatâwâ, jilid 23,
hlm. 54-55.
[14] Shahih al-Bukhari kitab fadla`il al-Qur`an
bab istidzkar al-Qur`an wa ta'ahudihi no. 5032.
[15] Fathul-Bari bab istidzkar al-Qur`an wa ta'ahudihi.
[16] Shahih al-Bukhari kitab fadla`ilil-Qur`an
bab istidzkar al-Qur`an wa ta'ahudihi no. 5033.
[17] Fathul-Bari bab istidzkar al-Qur`an wa
ta'ahudihi.
[18] Shahih al-Bukhari kitab fadla`il al-Qur`an
bab istidzkar al-Qur`an wa ta'ahudihi no. 5031.
[19] Fathul-Bari bab istidzkar al-Qur`an wa
ta'ahudihi.
[20] Shahih Muslim bab al-amr bi ta’ahhudil-Qur`an
no. 1876.
[21] Shahih Muslim bab al-amr bi ta’ahhudil-Qur`an
no. 1874.
[22] QS. Thaha [20] : 126.
[23] Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim bab al-amr
bi ta’ahhudil-Qur`an.
[24] Shahih Muslim kitab shalatil-musafirin bab
jami’ shalatil-lail wa man nama ‘anhu no. 1779; Sunan at-Tirmidzi abwab as-safar
bab ma dzukira fi man fatahu hizbuhu minal-lail no. 581.
Maka dari itu ‘Aisyah menyatakan:
كَانَ r إِذَا فَاتَتْهُ الصَّلاَةُ مِنَ اللَّيْلِ
مِنْ وَجَعٍ أَوْ غَيْرِهِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً
Rasulullah saw apabila luput darinya
shalat malam karena sakit atau lainnya, beliau shalat pada siang hari 12
raka’at (Shahih Muslim kitab shalatil-musafirin
bab jami’ shalatil-lail wa man nama ‘anhu no. 1777).
[25] Shahih Muslim bab an-nahy ‘an
shaumid-dahr no. 2786.
[26] Ibid.
[27] Shahih al-Bukhari bab fi kam yuqra`ul-Qur`an
no. 5052.
[28] Shahih al-Bukhari bab shaum yaum wa ifthar
yaum no. 1978.
[29] Sunan Abi Dawud kitab syahri Ramadlan bab tahzibil-qur`an
no. 1398. Al-Albani: Hadits shahih). Artinya kurang lebih 2 juz setiap
malam (juz 28 dan 29 jika dijumlahkan ada 20 surat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar